Minggu, 01 Januari 2012

Gadis Penghafal Ayat

(sebuah kisah pergulatan antara tradisi, spiritualisme dan intelektualisme gerakan)
Oleh : M Shoim Haris

BAGIAN  1
1996

Aku segera bergegas, mempercepat langkah  setengah berlari.
 “ Lai...Lai...tunggu” ada suara dari belakang punggung memanggil.
Aku melengos ke belakang sembari memperlambat ayunan kaki. “kenapa Ir...” sahutku sama Irma teman sekelasku. 
“Kamu jalan kok kayak orang habis minum dopping aja”, celoteh Irma, sambil nafasnya ngos-ngosan. Irma meraih pundakku. “Berhenti dulu. Aku kehabisan nafas neh..”  Secepat kilat aku hentikan langkah kaki, layaknya mobil yang direm mendadak.
 “Aku buru-buru neh...”.
“kamu dicari Pak Herman”
“Iya ini mau ke ruang Pak Herman”.
“Motormu sudah dikunci, blm..?”
“Udah. Sok perhatian lo...” , jawabku sambil ketawa.
“Kan emang aku yang perhatian sama kamu kan...” , samber Irma  sambil berderai .
“Iya deh...kamu em ang sahabat sejatiku...”
“Oke deh..kamu ke Pak Herman. Aku ke kelas duluan ya...”
   Siapppp”.
Pak Herman sudah menungguku saat aku hendak memasuki ruangannya.
“Assalamu alaikum..” sapaku sopan.
“Waalaikumusalam warahmah wabarakah...” jawab Pak Herman dengan lengkap.
“Selamat ya Lai...”
“selamat  apaan Pak”, aku sedikit bingung dan penasaran.
“ini surat dari UGM”, Pak Herman menyodorkan amplop putih dgn kop .
“surat ini pemberitahuan tertulisnya. Kemarin pihak sekolah ditelepon pihak Fakultas Filsafat UGM, bahwa kamu diterima tanpa tes pada penerimaan mahasiswa tahun ini”.  
Spontan aku gemetar merasakan tubuhku. Ada air hangat masuk lewat ubun-ubun kepalaku.
“Terima kasih Pak..” kataku reflek, sembari mencium tangan Pak Herman.
“itu hasil belajarmu yang pantas dihargai, Lai...”
“Saya ucapkan banyak terimakasih sama Pak Herman, semua guru, dan pihak sekolah seluruhnya”
“Pak , saya permisi, hendak masuk   kelas”, pintaku seraya mencium tangan Pak Herman.
“silahkan . Salam bapak sama Umi dan  Abahmu ya Lai...”
“Insya Allah Pak, nanti disampaikan sama Umi dan Abah”
Segera aku membalik badan, memunggungi Pak Herman. Kuayunkan kaki menuju kelas. Hatiku riang gembira. Jiwaku berkicau seperti burung –burung yang bersuara tiap hari di atas pohon samping rumah. Amplop kupegangi erat-arat ini yang membuatku melayang hingga ke sidratul muntaha. Aku serasa menjadi manusia baru. Lai..yang lain, yang berbeda dari kemarin. Lai..yang akan terbang tinggi. Lai yang akan berlayar  samudera . Lai yang akan mengejar matahari.
Aku tiba, saat kelas sudah mulai. Bu sarah sudah memberi pelajaran Inggris 20 menit yang lalu. Sepertinya  Bu Sarah sudah memahami alasanku terlambat. Tanpa menanyakan, Bu sarah mempersilahkan aku  mengambil duduk.  Seperti biasanya aku duduk disamping Irma, teman sebangku, teman  curhat, teman sebandelku.
“Selamat ya Lai...” Irma berbisik.
“Kok tahu kamu...”sahutku agak heran.
“Tadi Bu Sarah kasih tahu kita sebelum pelajaran”.
“ohh..makasih ya Ir..”tAku tak bisa mengikuti pejaran Bu Sarah seperti  biasanya. Hatiku yang terlalu riang kayaknya penyebabnya. Pikiranku melayang jauh menembus papan tulis di depanku. Pikiranku sudah terbang ke Yogja, tempat Universitas Gajah Mada yang akan menerimaku dengan hangat. Itulah manusia, kalau terlalu girang ataupun terlalu sedih sering tidak konsen, bahkan sentimental, tidak obyektif. Aku coba kembali ke pelajaran Bu Sarah, dengan membelalakkan mata. “kenapa kau Lai... sakit” Irma ternyata memperhatikan keanehan mataku.
“Gak papa...”, jawabku singkat.  Irma memang temanku yang setia. Anaknya baik dan suka perhatian sama keadaanku. Selama hampir 3 tahun bersekolah, dialah temanku yang baik dan banyak berjasa padaku. Dari Irma aku bisa mengenal Mas Anto, kakak sepupu yang tinggal di Surabaya. Sebagai wartawan di Harian Surabaya, Mas Anto  banyak membukakan cara pandangku , tidak terbatas pengetahuan dari sekolah, atau dari Umi dan Abah. Mas Anto juga seorang laki-laki yang menarik, supel dan pintar. Aku tak mungkin kenal Mas Anto kalau tanpa Irma. Itulah jasa Irma yang tak pernuh aku lupakan.
“yailah...ngelamun..” Irma berbisik lagi. Aku langsung terhenyak.
“tau neh..gak konsen “.
“Sabar non..Belanda masih jauh. Kan masih dua bulan lagi kau ke Yogya. Jangan dilamunin terus..malah gak jadi nanti..hehe..”, Irma meledekku dengan suara yang dipelan-pelankan, takut Bu Sarah mendengarnya. Aku cubit tangan Irma karena meledekku. Tiba-tiba ada rasa kuatir menerpa kepalaku. Kalau Abah dan Umi gak merestui aku ke Yogya? Kepalaku kontan berdenyut-denyut. Aku jadi takut Umi, apalagi Abah akan melarangku. “hufff’....
Lonceng berbunyi, tanda pelajaran telah usai, termasuk Bu Sarah harus segera mengakhiri Bahasa Inggrisnya. Setelah memberikan PR mengarang dlm Bahasa Inggris, Bu Sarah mengucap salam, dan keluar dari kelas.
“Mas Anto minggu depan mau ke sini” kata Irma smbil memasukkan buku ke dalam tas.
“Bisa lama gak?’
“Katanya diusahakan bisa ketemu sama kamu. Kayaknya dia kangen tuh Lai sama kamu”, ledek Irma.
“Aku juga kangen kok...weee..” , jawabku tak mau diledek.
“Cieye.....jadi  jatuh cinta beneran neh?!”
“Sudah akh...ketawa aja ya dari tadi” kataku.
“Kan kamu lagi seneng...”
  “Selamat ya Lai..” Nurdin menyodorkan tangannya bersalaman.
“Makasih ya Din..”,  aku sambut tangannya. Seperti semut teman-temanku bergiliran menyalamiku. Ternyata bukan hanya aku, ada lima siswa  yang mendapatkan kesempatan masuk ke Perguruan Tinggi melalui jalur pembakatan.  Si Norman diterimah di IKIP Surabaya, Ali di Airlangga Surabaya, Nita di Brawijaya Malang, Kholil di Universitas Jember.  Mereka memang yang prestasinya stabil, dengan rangking antara 1 sampe 5. Selain peringkat di kelas, aku juga menyertakan beberapa piagam penghargaan dan tulisan-tulisanku di koran dan majalah sebagai penguat. Itulah aku harus berterima kasih sama Mas Anto yang telah memperkenalkan dunia jurnalistik.  Mas Anto yang telah membimbingku menjelajah ilmu pengetahuan yang mengasyikkan.  Beberapa artikel tentang emansipasi perempuan dimuat di Harian Surabaya, Majalah Mimpar Pendidikan, dan di Buletin Sekolah, di mana aku menjadi Pemrednya.
“jangan lupa .. kasih tahu kalau Mas Anto di sini”, pintaku sama Irma sebelum kami berpisah menuju rumah masing-masing.
“iyaaa...Bu Nyai”, sambarnya.
“husshhh..ngeledek mulu ya....”
“Assalamulaikum....”,
“Waalaikumussalam...”, jawabku. Motor kustater, berdengung dan meluncur.

 BAGIAN 2
Setelah shalat magrib berjamaah, para santri bersiap-siap ‘setoran’ ke guru masing-masing sesuai tingkatannya. Aku masuk tingkatan 2, dengan guru ustadzah Ifah. Tingkatan 1 dengan guru Ustadzah Anik. Sedangkan tingkatan 3, setorannya ke Bu Nyai langsung, yaitu Umiku atau ibuku sendiri. Walaupun aku anaknya sendiri, aku tidak langsung ‘setorang’ ke Umi, sebelum aku masuk ke tingkatan ke 3. Sistem tingkatan itu untuk mengelompokkan kemampuan para santri untuk memudahkan sistem hafalan santri, dan memudahkan Umi sebagai pengasuh pesantren ini mengevaluasi para santri yang ‘ngaji’ di Pesantren Tahfidul Qur’an Darul Ilmi.  
 “Ning, mau duluan”, sapa Ustadzah Ifah.
“Gak , Ustadzah’, jawabku cepat. “yang lain aja duluan, saya terakhir”, . Ustadzah Ifah selalu menawarkan duluan kepadaku setiap mau memulai terima  ‘setoran’. aku memang belum terlalu siap dengan hafalanku hari ini. Kegembiraan akan Surat UGM yang akhirnya berujung kekuatiran akan larangan Abah dan Umi menganggu pikiranku. Seandainya bisa tidak setoran, pasti aku izin Ustazah ifah kalau aku tidak ‘setoran dulu’. Tapi aku takut Umi ragu terhadap kesungguhanku untuk menyeleseikan program tahfidul qur’an ini. Kalau Umi ragu, apalagi tidak yakin aku bisa menyeleseikan Tahfidul Qur’an bisa berantakan semua rencanaku. Pasti Umi, apalagi Abah bisa marah, dan menghentikan aktifitasku di luar pesantren ini. Artinya, aku terancam tidak boleh sekolah di luar, apalagi mau kuliah di Yogya. Jelas-jelas itu akan dihentikan saat ini juga. Itu tidak boleh terjadi.
“Monggo Ning! , yang lain sudah semua, tinggal Ning Lai”, Ustazah Ifah menyuruhku segera duduk di hadapannya. Ustazah-ustazah di sini semuanya hormat kepadaku, apalagi  santri-santrinya. Kalau bersalaman  selalu mencium tanganku. Sebagai  anak pengasuh pesantren, aku sangat dihormati.  Awalnya aku tak mempersoalkan sedikitpun tradisi dan kebiasaan itu. Akhir-akhir ini, setelah banyak diskusi dengan Mas Anto, aku sedikit demi sedikit merasakan risih dicium tanganku oleh santri-santri yang umurnya tidak terlalu beda denganku.
“Ustazah, saya setor dua halaman aja ya”,
“Dikit amat Ning?”,
“jangan kenceng-kenceng nanti Umi denger, jadi panjang ceritanya”,
“iya deh..”  Ustazah ifah tersenyum.  Aku mulai tarik nafas dan membuangnya. “Audzubillahi minassyaitoninrajiim....bismillahirrahmaninrr ahim.....Aku sambung melafalkan ayat di juz  18 hingga satu lembar, dengan hafalan.  Dan bacaanku berakhir saat aku tutup “shadaqallahul adzhimm...’
“Sakit Ning, kok dikit amat setornya?”, komentar Ustazah Ifah pelan kuatir didenger  Umi yang duduk tak jauh dari kita. Umi juga sedang menyimak hafalan santri tingkat 3, seraya membenarkan kalau ada bacaan yang kurang fasih.
“Agak kurang enak badan aja Ustazah”, jawabku sekenanya.
  “Jaga kesehatan Ning, jangan sampe sakit. Ning Lai kan banyak kegiatan. Apalagi mau ujian SMA ya?!”
“Makasih ya Ustazah..”  Agaknya Ustazah Ifah curiga aku terlalu sibuk aktifitas di luar pesantren, sehingga ‘setoranku’ cuma selembar.  “ustazah jangan bilang Umi kalau setoranku selembar. Besok hari aku rapel..”, selorohku.
“Kayak  gajian aja dirapel, Ning”, tenang ! aman”, Ustazah Ifah sambil tertawa kecil. Aku pamit Ustazah Ifah hendak  ke kamar.  Dia mempersilahkan, serasa berbisik, “Apa sih yang Ning cari, pesantren  tinggal diteruskan, tinggal menikah dan ibadah saja”,  Aku tersenyum sambil manggut-manggut, sembari mengangkat badan hendak pergi.
Aku merebahkan badan di atas kasur, berpeluk guling. Pikiranku masih berjoget-joget risau. ‘Bagaimana kalau aku tak diizinkan Abah dan Umi pergi Yogya. Apa yang harus kulakukan. Apakah hasratku untuk menikmati pengetahuan modern yang telah menyengatku ini kandas di tengah jalan?’ Aku beranjak ke meja belajar, kuraih amplop putih berkop yang diberikan Pak Herman tadi siang. “Kau yang akan menghantarkan aku ke dunia terang  itu. Dunia yang telah membuatku jatuh cinta. Kau yang akan membuatku menikmati hidup ini. Hidup yang indah, penuh warna-warni ilmu pengetahuan. Kau yang akan menjadi pelitaku dalam lorong gelap hidupku tanpa ilmu pengetahuan. Aku  harus pergi ke sana, memenuhi panggilanmu. Harus. Harus. Tidak boleh tidak’.
“Tapi bagaimana kalau Abah dan Umi tetap melarangku?”  Dadaku sesak memikirkan ini. Aku terkulai.
“Lai...Lai...”, suara Abah membangunkanku.
“Inggih Bah...”
“Kata Umi kamu belum shalat Isya’. Sudah jam 12, Nduk..”.
“inggih Bah...saya bangun”, terdengar langkah Abah menjauh kamarku setelah mendengar sahutanku. Aku kuat-kuatkan mengangkat badan yg masih lemas, dan menyeretnya ke kamar mandi. Setelah mengambil wudlu, kuteruskan shalat di kamar. Biasanya kalau berjamaah dengan santri-santri di mushallah dengan Umi sebagai imamnya. Kalau Abah mengimami di Masjid dengan santri putera.
Pesantren Darul Ilmi ini didirikan kakekku, Kyai Shomad, Ayah Abah. Umi adalah anak menantu kesayangan Kyai Shomad. Sejak Umi ada di pesantren ini, dibukalah pesantren tahfidz qur’an khusus puteri. Kyai Shomad sangat menyayangi  Umi karena sebagian cita-ciya Kyai Shomad dapat terwujud, mendirikan pesantren khusus tahfizd qur’an.  Rasa sayang sama anak menantunya itu terlihat dari cerita Abah mengenai Umi. “Kamu harus jaga kesehatan isterimu, Kamilah. Di dalam dirinya tersimpan kemuliaan agama, tersimpan 30 Juz ayat-ayat al-Qur’an. Jangan sampe pesantren tahfidz ini mati karena matinya Kamilah. Dia harus melahirkan penerusnya sebelum ia meninggal. Dan itu juga kewajibanmu, menjaga dan mendorong  Kamilah”. Kalau kau punya anak laki-laki dan perempuan; harus bisa meneruskan pesantren ini, dan bukalah pesantren tahfidz untuk putera”.  Sampai kisah ini aku tulis, Umi dan Abah hanya mempunyai anak seorang, yaitu aku. Betapa  besar harapan mereka kepadaku untuk menjadi penerusnya. Apalagi anak laki yang diharapkan sebagai pembuka pesantren tahfidz tak juga ada hingga kini.
Benar pula apa yang dikatakan Ustazah Ifah, aku akan mencari apa lagi?! Aku seumpama puteri yang tak perlu memikirkan apa-apa telah tersedia semuanya. Aku dipersiapkan Abah dan Umi untuk mengasuh pesantren ini, kelak bersama suamiku. Aku berkonsentrasi mengasuh pesantren tahfidz  puteri, dan suamiku mengasuh pesantren putera yang mengkaji kitab kuning. Lebih lagi, jika suamiku juga hafidz, akan dibuka pesantren tahfidz qur’an untuk putera. Tentang suami ini, kadang aku mendengar selentingan kalau beberapa Kyai sudah ‘nembung’ sama Abah untuk menjodohkan puteranya denganku. Abah dan Umi belum sekalipun mengiyakan keinginan kyai-kyai itu. Abah dan Umi masih menunggu calon menantu yang juga hafidz qur’an yang sekaligus  menguasai kitab kuning.
Aku sangat patuh dan menyayangi kedua orang tuaku itu. Karena mereka sangat menyayangiku. Dan akupun dengan senang hati mengikuti  jalan hidup yang dihamparkan padaku; sebagai penerus pesantren dan penghaf al qur’an.
“Ya Alalh, berikanlah petunjukkmu atas kegundahan hati hamba ini. Apakah aku menyalahi jalanmu, jika aku menginginkan dunia di luar pesantren. Aku ingin terbang jauh menembus dunia yang kau ciptakan ini. Aku ingin mengecap ilmu pengetahuan yang bertebaran di muka bumimu. Bukankah Engkau yang perintahkan agar umatmu bertebaran di muka bumi, untuk mencari karuniamu, dan ilmumu yang  tersimpan di sudut-sudut kolong langitmu”.
“Bagaimana Abah dan Umi, ya Allah? Bagaimana kalau aku mengecewakan hatinya, apakah aku akan durhaka kepadanya. Sedangkan Engkau telah memerintahkan kepada umatmu, agar taat dan patuh pada kedua orang tuanya. Apakah aku seperti anak Nabi Nuh yang tidak taat saat diajak masuk ke dalam perahu, dan akhirnya ia anak yang kau laknat dan tenggelam bersama kesombongannya?”
“Ya Allah tentramkan hatiku. Aku tak menginginkan apa-apa, selainMu. Dan tak ada niat sedikitpun durhaka kepada Abah dan Umi. Namun rinduku pada ilmu pengetahuan di luar sana, telah merasuk dalam pikiran dan sendi-sendi hatiku. Aku ingin merasai keindahan di luar sana. Apakah itu kedurhakaan? Astagfirullahal adzim....”
“Lai..Lai..bangun Nduk!’, suara Umi  membangunkan tidurku.  Setengah sadar kudengar lantunan adzan subuh dari pengeras suara masjid. Aku bergegas mengambil wudhu dan segera berbaris di mushallah.    
 Surat berkop itu belum juga aku kasih tahu Abah dan Umi.  Aku belum siap jika mereka marah dan mendampratku. Aku harus pikirkan cara yang paling tepat untuk mendapatkan izin mereka. Ya aku harus bersiasat agar aku lolos dari lobang jarum ini. Bukankah saat aku diperbolehkan sekolah di SMA Sooko, di luar pesantren juga bersiasat dan membujuk mereka. Tapi saat itu aku sudah berjanji sehabis lulus SMA akan konsentrasi ke tahfidz.  Lantas, bagaimana kalau mereka menagih janjiku itu?  Kepalaku berdenyut-denyut lagi , seakan jalan itu tertutup kembali.
“Halo..Bu  Nyai..”, tiba-tiba Irma mencolek pundakku.
“Apaan sih...awas kamu ya..”,
“sabar say....oiya ada rapat redaksi sekarang?’, cerocos Irma tak mempedulikan ketidak senanganku kalau ia goda dengan panggilan itu.
“iya...habis pelajaran sejarah”, jawabku kubikin ketus.
“jangan manyun dong..cantik. nanti gak jadi ke UGM loh...ikh ihk ikh”, goda Irma sembari mengejekku.
“ikhh...kamu tuh ya Ir...’, aku cubit kenceng lehernya.
“aduhhhhhhh........”, jeritnya.
“Makanya jangan ngeledek orang ya...”, balasku dengan puas.
 Aku dan Irma menuju kelas , fokus pada bangku yang kosong , tempat kita berdua. Tak lama kita duduk, Pak Nafis guru Sejarah memasuki  kelas. Setelah berucap salam dan kami semua menjawabnya, mulailah Pak Nafis memulia pelajarannya.
“Anak-anak, sebelumnya bapak ucapkan selamat atas terpilihnya kawan-kawan kalian yang diterima perguruan tinggi terkemuka di negeri ini tanpa test. Itu merupakan kesempatan yang berharga bagi kalian untuk menempa diri, membekali dengan ilmu pengetahuan. itu tidak hanya penting bagi diri kalian sendiri, tetapi juga penting bagi sekolah ini, Kabupaten ini, bahkan propinsi dan negara ini’, Pak Nafis memulai pelajarannya.
Dan kalian semua, saya dorong untuk juga melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tentunya setelah ujian nanti kalian bisa mendaftarkan diri ke perguruan tinggi  yang kalian maui. Dalam  kesempatan ini bapak gak akan bahas buku  pelajaran secara tekstual. Karena beberapa minggu yang lalu, kita sudah menamatkan bab-bab itu. Tinggal kalian berlatih soal-soal agar dalam ujian akhir nanti tidak kesulitan menjawab.”
Anak-anak..Sejarah itu kita pelajari  bukan untuk dihafal, tetapi dimengerti apa inti dari semua peristiwa dalam sejarah itu. Sejarah itu bukan dongeng, sekedar bacaan sebelum tidur. Kalau dongeng  ditulis untuk membuat orang tidur. Tapi sejarah ditulis dan dibaca untuk membuat orang bangun. Bapak mengajar kalian sejarah, bukan dongeng. Mengerti kalian maksudnya..?’. Seisi kelas diam, tak bersuara.
“Kamu ngerti maksudnya, Irma..?”, Pak Nafis sambil menuding ke arah Irma.
“Gak Pak...”, Irma dengan kencengnya.  Seisih kelas tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Irma.
“Akhhh...kalian kayak tahu aja...” , protes Irma.
“Kamu, Lai..”, tiba-tiba Pak Nafis menunjukku.  Aku kaget.
“Kita membutuhkan sejarah, karena punya masa depan. Sedangkan mewujudkan masa depan takkan terputus dengan masa lalu. Maka kita membutuhkan pengetahuan yang benar akan masa
Lalu, agar masa depan itu dapat kita wujudkan dengan kebenaran pula”, jawabku dengan agak ragu.
“hmmmmm.......boleh juga”, komentar Pak Nafis. Aku cukup lega Pak Nafis tak komentar buruk pada jawabanku. “selamet, gak diketawain anak-anak”, pikirku.
Kalian tahu, bangsa ini, Indonesia, bangsa besar. Begitu luas wilayahnya, dengan ribuan pulai, etnik, bahasa, suku, dan ragam agama. Kita punya sejarah panjang di nusantara ini, namun yang lebih penting adalah kita punya masa depan yang harus diperjuangkan. Bung Karno proklamator negara ini, sangat ambisius untuk menyatukan semua wilayah di asia tenggara ini menjadi wilayah Indonesia. Karena masa lalu wilayah itu bersatu dalam sebuah kerajaan besar yang bernama Majapahit, yang pusat pemerintahannya di Trowulan,  5 km dari tempat duduk kalian sekarang”. Maka kita punya kebesaran itu di masa lalu, lantas bagaimana kita di masa depan”.
“lantas kenapa Majapahit bisa runtuh, pak? :, tanyaku.
“Pertanyaan baguss..”, tanggap Pak Nafis
“Majapahit runtuh  karena  sebab alamiah yang mengharuskan Majapahit masih jaya itu sudah tiada. Konflik anggota kerajaan untuk memperebutkan tahta , perang sudara, sehingga membuat kebangkrutan ekonomi dan politik di seantero wilayah Majapahit.  Semua adipati dan raja-raja taklukan berbuat sesuka hati dalam memetik upeti pada rakyat. Timbullah ketidak percayaan di mana-mana, yang dibarengi kekacauan, kelaparan di mana-mana. Situasi seperti inilah yang memungkinkan Raden Patah membuka babak baru sejarah Nusantara”
 “Indonesia bukan Majapahit, namun Indonesia mempunyai sejarah kebesaran yang tak dipungkiri, adalah Majapahit. Barat maju seperti sekarang, didahului dengan Renaisance atau Aufklarung; yaitu kebangkitan kembali dengan mengambil kebesaran Yunani dan Romawi. Namun barat hari ini bukan Yunani atau Romawi tapi Barat modern dengan ilmu pengetahuan dan demokrasinya”.
“saya rasa cukup pelajaran kita, kalian sudah pada ngantuk kayaknya. Jadi inget ya, sejarah bukan dongeng menjelang tidur, tetapi pengetahuan yang benar tentang masa lalu untuk meraih kehidupan masa depan yang gemilang. Maka kata Bung Karno, jangan pernah melupakan sejarah atau dikenal dengan JAS MERAH “.
Seperti biasa Pak Nafis mengucapkan salam dan kelas bubar. Aku sama Irma tidak langsung pulang, ada rapat redaksi Buletin, edisi terakhir  sebelum kita lulus. Rapat dihadiri anggota redaksi, dan kru magang sebagai regenerasi kalau kami tinggalkan setelah lulus. Kami rapat untuk merundingkan, tema apa yang tepat untuk edisi terakhir ini. Aku terpengaruh dengan pelajaran Pak Nafis tadi tentang arti sejarah, sebuah pengertian yang membukakan pikiranku. Aku teringat juga kalau diskusi dengan Mas Anto tentang peran kaum terpelajar bagi masa depan sebuah masyarakat, bangsa atau negara.,
“Bagaimana kalau kita mengangkat tema  mendatang  tentang   pendidikan, dan peran kaum terdidik bagi masa depan bangsa”, usulku pada rapat.     
“Bagus juga sih kak. Tapi kalau aku punya usul, mengangkat  nasib buruh-buruh  pabrik di kota kita ini”. Ada yang menarik dari kehidupan para buruh itu. Karena mereka juga sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang diiginkan oleh pembangunan. Seperti  kemarin di kelas diterangkan Pak Arif, guru ekonomi”, Riyono anak kelas 2 berusaha menerangkan usulannya.
“Kalau saya tentang Kemerdekaan saja, apa makna kemerdekaan bagi anak-anak muda kita”, usul Irma.
“Masih ada usulan?”, kataku kepada peserta rapat.
“Cukup dulu mbak, kita bahas dulu”, sambar Rina anak magang kelas 2.
Semua usulan dibahas satu persatu. Banyak ide dan argumentasi  yang  layak diperhatikan.  Akhirnya  disepakati  tema makna kemerdekaan, pendidikan, dan reportase  kehidupan buruh, diulas dalam buletin mendatang. 


BAGIAN 3
Lonceng meraung-raung, tanda pelajaran usai. Guru mengucap salam, keluar kelas. Anak-anak berhamburan menyusul, pulang. Hari ini aku ke rumah Irma, menemui Mas Anto. Aku ingin segera bertemu dia; selalu ada yang baru kalau berdiskusi dengannya. Selalu ada semangat baru, bahkan jalan baru kalau bercengkrama dengan Mas Anto. Rumah Irma tak terlalu jauh dari sekolah, masih dalam kawasan kota. Kami naik motor sendiri-sendiri , beriringan.  Sekitar 15 menit kami sudah sampe di rumah Irma.
“wah rupanya 2 bidadari sudah datang. Kompak naik motornya, kayak film Chips aja...”, sambut Mas Anto, disusul ketawa rungan di depan pintu.
“bisa aja Mas...”, sahutku. Irma itu yang kayak Chips, suka ngebut..”
“saya termasuk bidadari  gak? Jangan basa-basi deh...aku gak tersinggung kok kalau cuma Lai yang dibilang bidadari”, timpal Irma sambil ngekek.  Reflek aku cubit lengan Irma.
“Masuk Lai..kamu temani Mas Anto tuh, dah kelamaan nunggu kamu. Aku buatin minum dulu”,
“akhh kamu....selalu deh ngeledekin”,
“Iya tuh, adik satu ini masih aja suka ngerjain orang”, timpal Mas Anto.
“Kamu tambah cantik aja Lai”, Mas anto memandangku sembari menyorotkan matanya ke wajahku. Aku jadi lunglai dipandang seperti itu. Tapi aku harus kuasai diriku.
“akh..Mas bisa aja. Mata Mas Anto aja lagi rabun”, jawabku menetralisir keadaan. 
“Ada acara apa Mas bisa ke sini, apa khusus mengunjungi Lai “, selorohku.  Mas Anto keliatan sumringah menanggapi selorohku.
“Dua hari ikut rombongan Menteri Perdagangan dan Perindustrian ke Jawa Timur, terakhir di Mojokerto, meninjau pabrik –pabrik, dan sentra-sentra indutri di sini”. 
Irma muncul dengan teko dan 3 buah gelas, dan meletakkannya di atas meja di depan kita.
“hayo dituang sendiri. Sudah dibikinin masak minta dituangin”, Irma nerocos seperti kran air saja. Mas Anto langsung menuangkan isih teko ke dalam 3 gelas di depannya.
“Silahkan Lai..Seger  se teh  made in Irma si gadis ceriwis”,
“enak aja..Mas Anto tuh yang bawel”, balas Irma. Aku hanya senyum-senyum adik-kakak sepupu itu berantem.
“selamat ya Lai, sebentar lagi kamu ke UGM”, Mas Anto mengembalikan pembicaraan ke arahku lagi.
“Makasih Mas, kan berkat dorongan Mas Anto juga “,
“Karena kesungguhanmu itu pasti”.
“Belum tahu mas, apa saya bisa ke sana?” kataku agak lirih. “Abah sama Umi, Mas”,
“Semangat dong Lai..”, Irma mencoba menghiburku. Aku coba kuasai diri agar tidak larut dalam perasaan risauku.
“Harus diperjuangkan Lai..karena hidup gak ada yang gratis, semua butuh usaha dan perjuangan”, tegas Mas Anto berusaha menguatkan. “aku bawa oleh-oleh untukmu Lai..”, seraya mengangkat badan meraih sesuatu di atas lemari di belakang punggungnya.
“ini buku kumpulan surat-surat Kartini yang diterbitkan setelah dia meninggal. Setelah kemerdekaan buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia”, Mas Anto memperlihatkan buku tebal dengn sampul  kecoklatan.  Ia membuka beberapa lembar, menunjukkan baris-baris tulisan dengan telunjuknya.
“Perhatikan kata-kata kartini ini dalam suratnya, “lebih baik sepanjang hidup penuh perjuangan daripada hidup tanpa cita-cita!”. Mas Anto menutup kembali buku itu. “ini untukmu, bisa kamu baca di rumah di waktu senggang, daripada nonton tivi aja kayak si Irma”.
“ya kena lagi deh gue..”, Irma langsung bereaksi. Kami ketawa berderai-derai.
“Hebat ya  Kartini, Mas. Zaman itu dia punya pemikiran maju seperti itu”, sambung Irma sambil mengayun-ayunkan kepalanya.
“Kalian harus lebih hebat dari Kartini. Karena Kartini menyerah dengan keadaan. Untung dia sempat menulis surat-surat pada teman Belandanya. Saat dia sudah meninggal surat-surat itu diterbitkan sesuai aslinya berbahasa Belanda”, jelas Mas Anto. “Baru setelah Kartini tiada dengan meninggalkan surat-surat yang berisih cita-citanya untuk mendidik perempuan-perempuan jawa, didirikanlah sekolah-sekolah untuk perempuan jawa atas namanya”. 
“Kapan kau menulis surat Ir..”, kataku 
“Surat Wasiat? Kau mendoakan aku cepat mati Lai....”, kita ketawa terpingkal-pingkal.
Setelah shalat ashar, aku berpamitan pulang. Seperti biasa aku harus ‘setoran’ ke Ustazah Ifah. Kali ini tidak terlalu sedikit , 3 lembar.  Aku merasa agak ringan kepalaku setelah diskusi dengan Mas Anto. Ataukah karena aku sudah ketemu dia, bukan karena diskusinya? Tak tahulah aku. Biarkan saja, yang penting bebanku serasa agak ringan.
Sehabis shalat isya’ berjamaah, aku pingin istirahat. Serasa ada yang merangkulku dari belakang. Sebelum aku menoleh ke belakang.
“Ning, mau tidur?”, suara Ustazah Ifah menyapaku.
“Belum juga sih..mau selonjoran aja Ustazah”.
“Boleh aku temani  sebelum Ning tidur?”,
“Boleh, ayo ke kamarku Ustazah”.
“Ning tiduran aja sambil istirahat, saya duduk di kursi ini”, seraya meletakkan pantatnya di kursi belajarku.
“Gak papa saya sambil tiduran? Kalau tidur beneran gimana?”, tanyaku becanda.
 “Kan saya menemani Ning istirahat. Kalau ketiduran saya balik ke kamarku”, sahutnya agak serius.
“Tenang aja, Ustazah kan friend saya, suka lindungi saya dari evaluasi Umi. Sekali-kali saya balas deh kebaikannya”. Ustazah Ifah ketawa mendengar jawabku.
“Saya perhatiin Ning itu punya kemauan keras terhadap sesuatu di luar pesantren ini”, Ustazah Ifah seperti menyelidik. Jangan-jangan Ustazah Ifah ini  utusan Umi atau Abah untuk mengorek-ngorek pikiranku.
“Pingin sekolah ninggalin pesantren ya Ning?”, lanjutnya. Aku diam, kuatir jawabanku masuk perangkap Ustazah Ifah.
“Ning beruntung banget masih punya orang tua lengkap. Apalagi Ning hidup di tengah keluarga terhormat seperti Kyai dan Nyai. Siapa yang tidak menghormati beliau-beliau. Bupati saja nurut sama omongan kyai dan Nyai”, celoteh Ustazah Ifah. Aku semakin bingung kemana arah pembicaraan Ustazah Ifah ini.
“Semua orang itu sama saja, Ustazah; sawang sinawang kata orang tua-tua”, jawabku sambil terkekeh. Ustazah ikut terkekeh juga.
“Saya merasa sangat beruntung hidup di pesantren ini. Ikut merasakan kehormatan yang beliau-beliau pancarkan”, timpal Ustazah Ifah.
Menurut cerita Umi, Ustazah ifah sudah tak punya orang tua. Dia mau mengabdi di pesantren ini, membantu keluarga kita, sambil ngaji di sini”. Aku tak ingat sudah berapa lama Ustazah Ifah telah bersama kita. Karena ketekunannya, sambil membantu membereskan keperluan rumah tangga, Ustazah Ifah mengikuti tahfidz. Kini, Ustazah Ifah menjadi andalan Umi untuk pesantren tahfidz, termasuk aku harus ‘setoran’ ke dia.
“Ning harus berbakti kepada Kyai dan Nyai, mumpung beliau masih gesang. Kalau sudah tiada baru terasa”.
“Kayak lagu Rhoma Irama aja, Ustazah; kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga”, sambarku sambil berderai.
“Akkhh si Ning, becanda. Saya serius neh”,
“Iya...biar gak cepat tua. Ustazah kan belum nikah. Oiya kapan nikahnya?”, aku alihkan pembicaraan.
“Tau akhh..Ning. malah nanya nikah”.
“Itu sama Ustaz Ikhsan gimana?”.
“Tau aja ya si Ning”, Ustazah Ifah tersipu-sipu. “Ning doain aja ya..kalau jadi kan Ning yang jadi panitianya”, kali ini Ustazah Ifah terlihat girang.
“Pastilah itu, Ustazah. Saya siap 200 persen untuk saudariku dan guruku yang cantik ini”,
“Aduhhh..si Ning, pake 200 persen segala. Semua kan terserah Kyai dan Nyai, Ning”.
“Ya pokoknya aku doain 200 persen juga”, kami tertawa sambil manggut-manggut.
“Ada apa si Ning malam ini kayaknya ceria amat, kayak orang sedang jatuh cinta aja” .
“Ada aja, pengen tahu aja ya”, seraya aku tertawa. “Emang kenapa, Ustazah sedih apa, kok tawanya masih tertahan di tenggorokan”,
“Si Ning neh godain aku terus ya”
“Makanya jangan sedih dong”
“Gak sedih Ning, lagi sentimentil aja, inget bapak, emak, dan cacak”. Raut muka ustazah Ifah seketika berubah. Aku merasakan  luka yang tersimpan kini menganga kembali.
“Saat itu bapak pulang dari mushallah, tiba-tiba diseret tiga orang berambut cepak, diangkut ke dalam mobil. Emak berteriak-teriak minta tolong tak ada yang keluar rumah. Baru setelah berambut cepak itu menghilang, warga pada datang. Kepala desa datang menenangkan Emak, agar bersabar. Sejak itulah Emak sakit-sakitan hingga menemui ajal setahun setelah peristiwa itu”, ustazah Ifah meneteskan air mata. Aku menghampiri dan memeluknya. Aku merasa berdosa telah curiga sebagai intel Umi. Ternyata kesedihan ini yang hendak ia bagi bersamaku malam ini.   
  “Cacakku Handono gagal masuk polisi. Akhirnya dia pergi ke Jakarta .  Sekarang dia bekerja di perusahaan elektronik di Glodok. Kadang dia kirim surat memberi kabar, dan tak lupa uang untuk aku pergunakan. Dia sangat senang aku di pesantren ini. Dia selalu berpesan agar aku selalu mendoakan bapak dan emak. Dan selalu berpesan, agar pandai-pandai membawa diri dan berterima kasih pada yang menolong kita, yaitu Kyai dan Nyai serta keluarganya” ustazah Ifah semakin larut dalam ceritanya, tak bisa kubendung lagi untuk terus bercerita. Aku hanya memeluknya erat, seakan aku merasakan kepiluan itu.
“Dari surat cacakku baru aku mengerti, kalau bapak itu dibunuh ‘glangsingan’. Mayat bapak ditemukan di tengah ‘persil’ di dalam glangsi. Sama warga mayat itu diambil dan dimakamkan di pekuburan desa. Menurut Cacak dalam suratnya, kemungkinan bapak kena fitnah hingga didaftar “glangsingan’. Suatu hari Darmo dari desa suruh bertamu meminjam uang sama bapak. Ternyata niat baik itu berakibat maut bagi bapak. Darmo ternyata berandal yang diincar ‘glangsingan’ karena kelakuannya yang sering melakukan pencurian dan perampokan. Semua orang yang pernah berhubungan dengan Darmo diteliti satu persatu”. Ustazah Ifah masih saja bercerita, seperti ingin menumpahkan semua kepedihannya itu. Aku usap kepalanya, seperti Umi mengusap rambutku  kalau aku menangis.
“Menurut Cak Handono dalam suratnya, Darmo ini anaknya Suro, yang mati digorok orang-orang kampung karena menjadi kader PKI. Suro pernah mengajak  bapak menghadiri acara PKI di kecamatan. Sebagai teman baik, teman menggembala  kerbau di alas, bapak ikut acara itu, semata-mata karena berteman dengan Suro.  Niat bapak berteman itu ternyata berbuah naas. Setelah Gestapu, bapak dibawah ke koramil seminggu. Karena bapak tak terbukti kader PKI bapak dibolehkan pulang. Namun setiap pembuatan KTP selalu ditandain. Sebab itulah Cak Handono juga gagal menjadi polisi, dicatat anak PKI”
Kata Cak Handono, pasrahkan semuanya pada Allah, Dialah yang Maha Adil. Tidak usah dendam kepada siapa-siapa, termasuk  pada keluarga Suro dan darmo, penyebab naas bapak. Darmo anak bungsu Suro, yang paling tidak menerima keadaan keluarganya. Bapaknya digorok, kesempatan hidupnya digencet , menjadi ini dan itu tidak bisa; sama orang kampung dicap PKI. Dia frustrasi, hidup atau mati sama saja. Jadilah ia berandal, mencuri dan merampok. Kakaknya tak mampu menasehatinya agar menerima keadaan” Aku bimbing Ustazah Ifah duduk di ranjang , tak lepas aku memeluknya.   
Malam ini saya teringat bapak, Ning. Kata Cak Handono, malam ini adalah pas tanggal/bulan bapak diambil glangsingan. Saya kasihan sama Bapak sama Emak. Apakah di sana mendapat kedamaian?”, ustazah Ifah mulai ‘meredah.
“Insya Allah, Ustazah. Bapak dan Emak akan mendapatkan surga Allah. Beliau adalah orang-orang yang mati karena penindasan, dan itu mati syahid”, jelasku menghibur.
“Ayo kita khususkan kepada beliau berdua; alfatihah....”, serempak aku dan Ustazah Ifah membaca surat alfatihah hingga amiin. Ustazah Ifah mulai mereda tangisnya, aku rebahkan di atas kasur.
Suara adzan subuh membangunkanku. Kutengok Ustazah Ifah sudah tidak ada.  Aku bergegas mengambil wudhu, lantas ke   mushallah. Ustazah Ifah sudah duduk di baris depan, berdzikir.

 BAGIAN  4
Aku harus pandai membagi waktu, kalau tak mau kandas semua; ujian akhir, ‘setoran’, buletin. Soal amplop berkop itu nanti saja  setelah  ujian diseleseikan. Aku  harus konsen, pandai menata emosiku. Tak perlu larut dalam gejala perasaan yang berlebihan. Sesuatu itu berat dan ringan tergantung perasaan kita. Kalau mental kita kuat, akan terasa ringan. Jika mental kita lemah, maka kiamatlah serasa dunia ini. Aku mau menetralkan pikiran dan perasaan dari hal-hal yang kuanggap menekanku selama ini. Aku mau fokus pada tiga hal tadi. Aku sebut lagi; ujian akhir, setoran, dan buletin.
Ujian akhir kuanggap tak ada masalah. Materi pelajaran sudah selesei diajarkan. Latihan-latihan soal sangat  penting. Itupun juga bisa dikerjakan. Tinggal berdo’a ; jalani ujian, dan lulus. Setoran tidak perlu terlalu sedikit ataupun terlalu banyak. Cukup standart, kurangi sedikit. Diskon  ujian akhir perlu diberlakukan.      
Soal buletin yang masih harus dilengkapi data-datanya. Anak-anak magang dari kelas 2, untungnya, cukup rajin.  Mereka sering berdiskusi di ruang redaksi, untuk mengumpulkan dan melengkapi data- data yang diperlukan. Riyono dan Rina, sering dijuluki, 2R melakukan reportase tentang buruh. Agaknya 2R sejoli yang brilian bagi masa depan Kuntum. Aku  cukup melakukan kontrol dan koordinasi. Keadaan masih  terkendali. Saya lihat beberapa naskah sudah masuk, ditumpuk di file. Berkas-berkas itu nunggu saya baca, dilumat satu persatu.  Setelah ujian akhir akan aku baca semua naskah-naskah itu. Cukup seharian di ruang redaksi, atau aku bawa pulang, baca di kamar.  
Setelah seminggu fokus menghadapi soal-soal , usai sudah ujian akhir. Dari soal-soal yang diujikan, feelingku mengatakan, lulus dengan memuaskan. Tak terlihat ada masalah yang dikuatirkan. Seperti soal-soal yang biasa kuseleseikan, tak terlalu rumit. Kewajibanku di sekolah ini masih ada; buletin KUNTUM. Harus kurampungkan segera. Agar aku benar-benar terbebas dari sekolah ini, dan dapat terbang jauh melanglang buana. Apa iya melanglang buana, ke Yogya aja terancam”, bisik hatiku  sekan menertawakan diri sendiri.
Riyono dan Rina alias  sejoli 2R berada di ruang redaksi, saat aku memasukinya. Sejoli ini menampakkan antusiasme dalam jurnalistik. Aku mulai tertarik dan mengagumi mereka. Aku juga merasa lega keluar dari sekolah ini, dengan meninggalkan KUNTUM diawaki 2R. Hasil reportase mereka sudah dituliskan, bertumpuk di file. Kuambil tumpukan  naskah, kuraih hasil reportase 2R bertajuk , “AirMata dalam Pembangunan (Kisah Buruh Pabrik). Sebuah judul yang menggugah. Dalam reportasenya, 2R menggambarkan kepiluan hidup para buruh.
Seorang buruh bernama Tukijan dihukum 3 tahun dengan dakwaan mencuri sandal di mushallah perusahaan. Sebuah tuntutan yang mengada-ada. Setelah melakukan penelusuran, didapatkan info bahwa perusahaan tidak suka dengan sikap Tukijan mengorganisir buruh saat demonstrasi  hari buruh international”
Marsinah buruh Kabupaten sebelah (Sidoarjo) dinyatakan hilang, dan akhirnya tewas setelah melakukan  demonstrasi menuntut hak-haknya yang diabaikan perusahaan. Marsinah sempat dibawa ke Kodim untuk diperiksa, namun menghilang, dan akhirnya tewas dekat kampung halamannya, Nganjuk. Sebuah rekayasa dikembangkan untuk menutupi penyebab tewasnya Marsinah”
Laksono kini hanya bisa meratap di rumahnya, merasa menjadi beban keluarga. Seakan menjadi laki-laki tak berguna. Kebalikan sebelum kecelakaan menimpanya, ia menjadi tulang punggung keluarga. Kedua tangannya buntung, tertimpa balok besi dalam kecelakaan di pabrik tempat ia bekerja selama 10 tahun. Perusahaan menelantarkannya begitu saja. 10 tahun bekerja bukanlah alasan penghibah sedikitpun untuk mendapatkan belas kasihan. Habis manis sepah dibuang”   
Hasil reportase 2R memang memiluhkan, bergidik  bulu kudukku.  Demi pembangunan, ekonomi harus tumbuh, maka butuh stabilitas. Buruh dipacu seperti kuda, tapi tak dipenuhi hak-haknya. Kalau protes digebuk, dihilangkan, kasarnya dibinasakan. “Cara macam apa ini, “ gumamku lirih sendiri.
Masih banyak naskah-naskah lain yang harus aku baca. Sebaiknya aku bawa pulang.
“Kalian terus belajar, lebih maju lagi”, ujarku pada  2R sebelum melangkah ke luar ruangan.
Naskah sebanyak ini merepotkan bawanya, motorku hampir tak memadahi. Itupun hampir tercerai berai di  tengah jalan. Untung diingetin pemotor lain. Minggir. Aku iket lagi dengan rafia. Aman sampai rumah.
Ada keramaian di rumah. Banyak orang berkumpul melingkar. Semua menyapaku hormat. Hendak bersalaman, tanganku penuh naskah. Mereka merundukkan kepala saja.  Ada apa gerangan?  Apa aku sudah terasing dari  dari pesantren ini, apa yang terjadi saja aku tidak mengetahuinya. Ataukah aku sudah tak punya kepedulian terhadap lingkungan pesantren, akupun tak mengetahui ada apa saat ini. Aku jadi merasa bersalah terhadap diriku sendiri. Apakah mereka juga sudah menganggapku aneh? Aku berfikir keras gim ana caranya tahu. Kalau aku nanya ke santri, akan terlihat aneh dan malu, kok aku gak tahu. Ya aku punya akal”, gumamku. Sudah lama aku gak ngobrol sama Fatma, santri  tingkat 3 tahfidz. Sebaiknya aku ke kamarnya. Fatma senang aku datang. Biar lebih enak  ngobrolnya, kuajak  fatma ke kamar.
“Ning, tadi gak ikut mimpin koordinasi panitia besar haul?”, tanya Fatma. Ia menanyakan sesuatu, yang  juga jawabanku. Memang tak salah aku cari Fatma.
“Gak,  baru datang”,
“Kamu ikut?”
“Ya Ning, ikut” 
 “Bapakmu sering nyambangi ?”,
“Baru kemarin siang, Ning”
“Bagaimana kabar bapak, emakmu?”
“Baik Ning, cuma bapak telinganya agak sakit akhir-akhir ini. Sempat dibawa  ke rumah sakit. Suka kambuhan”. Kata bapak, pendengarannya sekarang berkurang. Tidak bisa mendengar suara yang pelan-pelan”.        
Fatma dari keluarga petani di sekitar perkebunan kayu putih punya Perhutani. Bapak Fatma kalau nyambangi ,  bawa beras lengkap dengan hasil-hasil pertanian yang sedang dipanennya. Kalau musim cabe, kacang tanah, atau singkong selalu dibawanya. Kakak satu-satunya juga petani di kampungnya.   Sebelum kakaknya menikah, yang selalu mengantarkan kebutuhan Fatma. Setelah menikah sangat jarang, lebih sering bapaknya yang nyambangi Fatma.
“Kata bapak, telinganya sakit, sejak ditempeleng Babinsa”
“Kenapa sampai ditempeleng?”, sahutku
“Kata Bapak, waktu itu ada pengumuman dari Desa, agar semua keluarga ikut program KB, dengan 2 anak cukup. Bapak dan emak tak ada masalah dengan KB, karena memang tak mau terlalu banyak anak. Biar keurus “, katanya. Tapi bapak menolak KB pakai Spiral dipakaikan ke emak. Bapak milih KB suntik, walau harus bayar. Kalau KB spiral gratis karena program pemerintah. Alasan bapak tak mau pakai spiral, “masak ‘barang’ isteri kok diperlihatkan  orang lain. Berselang beberapa minggu, ada Babinsa datang ke rumah memaksakan bapak ikuti saja program KB Spiral. Bapak menolak. Setelah berdebat  agak lama, Babinsa itu emosi. Bapak ditempelengnya berkali-kali. Sejak  itu telinga bapak suka sakit dan berdengung”,jelas  Fatma panjang lebar.
“Mulai saat itu bapak benci banget semua yang berbau pemerintah. Kalau  pemilu bapak milihnya Ka’bah, sekarang Bintang. Meskipun keponakannya sendiri yang jadi kepala desa, tetap tak mau milih Beringin. Semua tetangga memasang gambar Beringin, tetap bapak tak mau pasang”   Tapi bapak terkenal jujur, Ning. Kalau ada pinjaman Bimas atau KUD, bapak paling cepat pengembaliannya. Itulah bapakku, Ning. Keras tapi jujur”.
“Desa saya itu, desa yang paling pembangkang  se kecamatan Dawarblandong. Beringin tak pernah puas dengan hasil pemungutan suara di situ. Kebanyakan penduduknya milih Bintang, tak mau beringin. Anehnya kalau dihitung Beringin tetap menang meskipun tipis”
“waduhh...kamu ini ngerti politik juga ya”, tanggapku
“Hahaha... bukan Ning. Bapak itu sering bercerita apa saja padaku. Katanya, orang hidup itu harus jujur dan jangan terpengaruh orang lain. Kalau jadi pegawai negeri yang ikut Beringin. Bapak kan petani, kenapa harus ikut-ikut mereka”, katanya.
Puas ngerumpi dengan Fatma, kita bersiap-siap shalat maghrib, dan biasa ‘setoran’.  Malam ini aku harus tuntaskan baca naskah-naskah itu. Banyak naskah-naskah kiriman dari anak-anak kelas 2 dan 1 yang mencoba menulis; baik puisi, karikatur, cerpen atau artikel. Banyak dari naskah itu yang kurang menarik perhatiaanku. Secara umum , lebih mengekspresikan perasaan hati, jatuh cinta ataupun patah hati. Aku kurang meminati naskah yang hanya mengeksploitasi cinta personal itu. Apa tidak ada lagi urusan di dunia ini yang lebih penting dari jatuh cinta atau patah hati? Tapi bukankah itu cerita abadi umat manusia, dari zaman Adam sampai kini? Ada juga yang menulis tentang agama, bagaimana hidup lebih tenang dengan menjalankan agama secara khusu’. Sendainya penulis ini, lebih menggali agama dalam suasana keresahan problema parah buruh, Bapak Fatma atau yang dialami keluarga Ustazah Ifah, naskah ini pasti dapat menarik perhatianku. Bagaimana hidup bisa tenang  jika agama tak terkait dengan kegundahan mereka-mereka yang digencet kekuatan besar di luar dirinya, tanpa penolong satupun. Mestinya agama menolong mereka.  
 Ada naskah Irma tentang kemerdekaan, seperti yang dia usulkan dalam rapat. Aku baca dengan agak pelan. Terasa tulisan ini jauh lebih maju dengan tulisan Irma sebelumnya. Apa iya ini tulisan Irma?  Selama ini aku mengerti Irma pribadi yang tidak terlalu serius. Saya tahu anaknya cerdas, cengengesan, dan tak suka terlalu rumit dalam berfikir. Tapi kalau lihat artikel ini, sungguh kontempelatif dan mendalam. Pasti ini ada intervensi Mas Anto dalam artikel ini? Kenapa aku jadi suka curiga begini? Dasar syirik”.
“Merdeka, kata pendek yang begitu panjang makna dan tafsiran yang mengikuti di belakangnya. Merdeka adalah keadaan bebas, mandiri dari keterkungkungan  pihak luar. Merdeka adalah kebebasan dan kemandirian. Manusia merdeka adalah manusia bebas dan mandiri, bukan budak. Manusia yang dapat menentukan nasib dan kehendaknya sendiri. Merdeka adalah inti dari kehidupan manusia. Hanya dengan kemerdekaan, manusia dapat mengembangkan kehidupannya. Karena inovasi dan kreatifitas hanya lahir dari kebebasan manusia”, tulis Irma.  Aku terkesima dengan kata-kata yang disusun Irma. Benar, Irma telah mengalami kemajuan dalam menulis.
“Indonesia merdeka, itu cita-cita para pendiri bangsa ini. Sebuah negara yang merdeka, bebas dari penjajahan bangsa asing. Sebuah bangsa, dengan negara yang mandiri, berdiri di tas pemerintahan sendiri. Negara merdeka, yang akan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Sebuah negara dan bangsa merdeka, dengan rakyat sebagai manusia yang merdeka pula. Itulah negara, bangsa, dan rakyat Indonesia, yang diproklamirkan Soekarno - Hatta ”
“Hendak 51 tahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yang tiap agustus selalu diperingati dengan macam-macam upacara; upacara bendera, upacara lomba karung, panjat pinang, sampe karnaval. Muncullah pertanyaan; sudah mewujudkah kemerdekaan itu di tumpah darah Indonesia?  Apakah negara Indonesia merdeka ini, telah melindungi tumpah darahnya, dari kebodohan, kemiskinan, rasa takut, dan kecemasan masa depan?”, Irma menutup tulisannya dengan pertanyaan yang menggelitik.   
 Pertanyaan Irma menyentak pikiranku. Merdeka untuk siapa? Merdeka membunuh Marsinah yang memperjuangkan hak-haknya? Merdeka ‘nggalansingi’ bapak Ustazah Ifah? Apa dikatakan merdeka jika pemilu rakyat diintimidasi untuk memilih? Pikiranku melanjutkan pertanyaan Irma. Lantas kalau aku tak bisa ke UGM, apakah aku juga masih dikatakan sebagai manusia merdeka? Kepalaku berputar-putar, penuh pertanyaan. Pusing. Tulisan Irma telah menganggu selera tidurku malam ini.
Matahari meringis mengejekku dengan sinarnya yang menerobos jendela. Aku barusan menyeleseikan ‘nderes’ juz 20. Apakah kau manusia merdeka, di negeri yang diklaim merdeka oleh Dwitunggal? “, selalu saja bisikan dari tulisan Irma menggangguku. Hidup adalah perjuangan, kata Kartini. Kalaupun aku belum merdeka, harus terus menerus diperjuangkan kemerdekaan itu. Karena tak ada yang lebih terhormat , selain menjadi manusia merdeka. Seorang budakpun akan menyabung nyawa untuk menyongsong kematian sebagai manusia merdeka. Aku juga, begitu juga seluruh tumpah darah Indonesia.
“Nduk..ujianmu sudah rampungkan?”, Umi tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Inggih, Umi..”
“Bisa bantu koordinasi panitia haul Mbahmu?”, kata Umi seraya berdiri di depanku.
“Tapi saya jangan diandalkan ya Umi, masih ada kewajiban di sekolah yang harus dituntaskan. Kuatir nanti bisa berantakan kalau mengandalkan Lai...”,
“Kamu wakil Ustazah Anik saja. Nanti Umi bilang dia kalau kamu tak terlalu bisa diandalkan”, ujar Umi sambil membalik badan, keluar kamar.
Habis dhuhur peserta rapat sudah berdatangan. Tidak hanya santri dan uztazah yang hadir, juga ada Lurah dan perangkatnya, Camat dan muspikanya, serta asisten Bupati dan rombongannya. Setelah diawali makan siang, rapat dimulai. Abah memberi pengantar, diteruskan Umi, dan diserahkan Ustaz Fadil ketua pelaksana.  Ustaz Fadil ditunjuk Abah  memimpin kepanitiaan, mengkoordinasikan ke dalam, pihak pesantren, dan ke luar, pihak pemerintahan. Ustaz Fadil yang sehari-hari sebagai kepala pesantren memang piawai berkomunikasi. Sehingga rapat cukup efektif dan tak berbelit-belit. Dengan humor ala pesantren yang menyegarkan, kadang menyentil, membuat aparat pemerintah cengar-cengir kadang terpingkal-pingkal. Rapat berjalan mulus. Dipastikan Gubernur Jatim akan hadir dalam puncak acara Haul Kyai Shomad. Itu berarti, Bupati, Camat,  apalagi Lurah akan hadir dalam acara puncak. Seperti biasanya, haul juga   akan dihadiri dari pelbagai pesantren di sekitar Mojokerto, seperti Jombang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Gresik, daerah-daerah Jatim lainnya, bahkan dari Jateng juga ada. Santri-santri Kyai Shomad cukup menyebar di beberapa daerah, bahkan tidak sedikit yang mendirikan pesantren pula. Mereka akan hadir dalam haul itu.
 Sebelum malam puncak, haul akan dilaksanakan ‘semaan ‘ tiga hari berturut-turut, dilanjutkan malam hari istighatsah juga tiga hari. Semaan akan dibuka Umi pada juz 1 pada hari pertama, hari ke dua Ustazah Ifah juga juz satu, hari ke tiga dibuka Ustazah Anik. Selanjutnya diteruskan oleh para hafidzah dan hafidz yang diundang, atau datang sukarela datang semaan. Biasanya tak perlu kuatir kekurangan para penghafal itu. Masyarakat juga biasanya berduyun datang menyima’ dengan qur’an nya masing-masing. Ada juga yang datang tak membawa qur’an, sekedar diam mendengar ayat-ayat itu dilantunkan para penghafal. Semua yang datang ingin menghormati Kyai Shomad, dan mencari barokah al qur’an yang seharian dilantunkan. Istighasah dipimpin abah di malam pertama, kedua oleh Ustaz Fadil, dan ketiga Ustaz Malik. Semua hadirin yang datang disediain  makan ala pesantren. Bagi mereka yang datang dari jauh, yang hanya berbekal ongkos pulang –pergi tak perlu kuatir soal makan. Namun bagi yang berkecukupan ingin makan yang lebih enak, banyak pedagang dadakan yang berjualan makanan, termasuk warung  nasi. Makam Kyai shomad disamping Masjid juga bakal berjibun peziarah, membacakan tahlil, surat yasin, atau sekedar berdoa. Mungkin juga ada yang datang karena ingin membaur dengan keramaian haul ini.      
“Ustazah, mohon maaf saya tak bisa terlalu aktif dalam panitia”,
“Gak papa, Ning. Nyai sudah memberi tahu kesibukan Ning Lai. Biar saya saja yang lebih aktif. Ning gak usah kuatir, semua akan beres”, tandas Ustzah Anik. Aku merasa lega dengan jawaban ustazah Anik.
“Barangkali Nyai hanya berharap Ning membaur dengan acara haul saja, biarpun tugas sudah dapat diatasi panitia”. 
Aku merasa tersindir dengan ucapan ustazah Anik barusan. Meskipun aku tahu ustazah Anik tak bermaksud itu. Dia hanya ingin melegakan hatiku, kalau sebagai wakilnya di panitia tak perlu dirisaukan terbebani tugas-tugas panitia. Aku saja yang merasa semakin jauh dari denyut nadi aktifitas di pesantren yang mestinya aku warisi ini. Ada perasaan malu, dan merasa bersalah pada Abah dan Umi. Kalau ustazah atau santri mendapatkan tugas dari Abah dan Umi akan sangat merasa terhormat, sebuah kesempatan ‘ngalap’ barakoh. Akan dilaksanakan dengan ikhlas, dengan hati riang gembira. Merasa barokah dan kebaikan akan mengiringi hidupnya. Hanya dengan keikhlasan sang gurulah para santri merasa hidupnya penuh berkah. Dan tugas itu adalah pintu-pintu menuju keberkahan.
Aku tak dapat melepaskan pikiranku dari KUNTUM, sampai sejenak terlupakan soal amplop berkop itu. Naskah-naskah harus segera aku pilih, dan dirapatkan. Tinggal materi pendidikan yang belum tercukupi. Dari naskah-naskah yang masuk belum memuaskan insting jurnalistik yang diajarkan Mas Anto. Aku merasakan jumud di otakku. Buntu. Aku perlu inspirasi, untuk merangsang kepalaku kembali berfikir. Apa aku perlu sekedar refresing, jalan-jalan. Atau baca buku cari referensi di perpustakaan, atau berkunjung ke toko buku. Atau perlu berdiskusi dengan orang yang berwawasan, yang dapat merangsang otakku bekerja. Apa aku ke Surabaya saja. Apa Umi mengizinkan aku pergi sendirian? Pasti harus ditemani. Sedangkan semua pada sibuk mempersiapkan haul. Atau tak perlu minta izin, bukankah mereka tahu aku masih punya tanggungjawab ke sekolahan. Kalau ke surabaya, bisa ke Gramedia, dan mampir ke tempat Mas anto. Sebuah ide yang brilian.
Setelah kurampungkan ritual pagiku, shalat berjamaah, nderes, merapikan kamar dari tumpukan kertas, aku meluncur ke rumah Irma dengan kuda modern, motor kesayanganku. Motor bebek keluaran pabrikan Jepang Honda Grand Astrea. Motor honda ini paling populer  di Mojokerto, terutama di kampung-kampung. Honda harganya lebih sedikit mahal dibandikan merk lain, yang semuanya pabrikan Jepang. Karena dianggap irit, dan mesinnya simple, 4 tak, tanpa kopling. Sangat cocok untuk aku yang tak mengerti tetek bengek mesin. Cukup distater, nyala, digas dan lari. Jepang yang luluh lantak di Perang Dunia dua, sekarang nampak telah bangkit dengan kekuatan ekonominya. Kekalahan Jepang dalam perang itu, juga yang menyebabkan Indonesia diproklamasikan Dwitunggal. Jepang begitu cepat bangkit dari kematian akibat kalah perang.  Ekonominya terus membungbung, menggoda AS untuk bersaing (negara yang memperlakukannya menjadi pecundang).
Setelah kuyakinkan Irma pentingnya ke Surabaya, sekelebat Irma telpon Mas Anto ke kantor, kiranya bisa menemui kita. Berangkatlah kami ke Surabaya naik kereta KRD dari stasiun Mojokerto. KRD ini kereta kelas ekonomi paling bawah, yang berhenti pada setiap stasiun kecil. Kereta selalu disesaki penumpang. Siapa yang duluan yang dapat tempat duduk. Karcisnya tanpa nomer tempat duduk. Aku dan Irma tak kebagian tempat duduk, terpaksa berdiri. Tempat duduk telah penuh sejak di stasiun Peterongan. KRD kereta idola para kaum sudra di negeri ini, bayarnya murah, bisa ngangkut apa saja. Di sebelahku membawa 2 karung jagung muda yang akan di turunkan di stasiun Pasar Turi. Di belakangku membawa 2 keranjang ayam, juga diturunkan di Pasar Turi.
Kereta berhenti. Aku longokkan kepala, terlihat di papan stasiun, Stasiun Tarik. Sebuah kecamatan yang bersebelahan dengan Mojokerto. Sekarang kecamatan Tarik menjadi bagian dari Kabupaten Sidoarjo. Dalam cerita cikal bakal berdirinya Majapahit , wilayah ini bernama hutan tarik. Sanggrama Wijaya adalah menantu Kertanegara, raja terakhir Singosari yang keturunan Ken Arok pendiri Singosari. Kertanegara kalah dalam peperangan melawan pemberontakan Kediri, musuh bebuyutan Singosari. Raden Wijaya melarikan diri dengan sekumpulan pengikutnya menyusun perlawanan. Kediri yang baru saja usai perang , menawarkan perdamain dengan Raden Wijaya. Sebagai imbalannya, diberikan kawasan hutan tarik untuk dibuka sebagai pemukiman baru bagi R Wijaya dan pengikutnya. Dengan dibantu ksatria dari Madura mulailah hutan itu dibuka, istilahnya, ‘bubak alas’. Saat pengikut R Wijaya bekerja di siang hari, dengan panas yang membakar, haus menyerang tenggorokan. Ada banyak buah segar yang menggoda untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Buah maja namanya. Saat makan buah itu salah seorang pengikut muntah-muntah, merasakan pahit yang merayap ke tenggorokan menuju perutnya. Raden Wijaya mengatakan di kerumunan pengikutnya, “nanti kalau pemukiman ini telah ramai, aku namakan ‘Majapahit’. Sebagai petanda bahwa kita telah memulai usaha membuka pemukiman ini dengan banyak buah maja yang berasa pahit.  Mulai saat itulah pemukiman Raden Wijaya di hutan tarik lebih terkenal dengan kampung Majapahit. Kelak setelah Majapahit berevolusi menjadi Kerajaan besar Kotaraja dipindah ke kawasan Trowulan, sekarang salah satu kecamatan di Mojokerto. Saat Belanda masih bercokol, sebagian wilayah kadipaten Mojokerto dipisahkan secara administratif, sekarang kabupaten Jombang.   
“Lai...minggir dikit”, Irma membangunkan lamunanku. Ada pengemis ngesot minta jalan. Kakinya diperban, layaknya orang habis kecelakaan, perbannya kemerahan penuh darah. Aku sodorkan uang recehan. Segera pengemis itu berucap terima kasih, dan ngesot berlalu.
“Itu luka bohongan, Mbak”, ujar ibu di depanku. “Sekarang ini banyak orang bohong, Mbak. Banyak penipu. Masak masih muda, laki-laki lagi, mencari uang seperti itu”, gerutu ibu itu.
 Kereta melaju kembali menuju Surabaya, meninggalkan  hutan tarik. Ibu itu berasal dari Nganjuk membawa 2 karung jagung muda. Ia berdagang jagung bakar di Pasar Turi. Setiap habis jagungnya ia pulang ke Nganjuk membeli dari petani di kampungnya. Bergantian sama anaknya menjaga ‘lapak’ atau ke Nganjuk.
“Mencari uang memang tidak mudah, Mbak. Tapi tidak terhormat menjadi pengemis, apalagi pake bohong”, lanjutnya. Yang enak jadi pegawai, bayaran pasti setiap bulan. Semua sudah dijamin negara. Namanya saja bagus, Abdi Negara. Tapi pegawai juga banyak yang bohong. Saya suka diminta setoran dobel dari semestinya petugas pasar turi”
“Terus...hina mana pengemis bohong sama pegawai bohong, Bu”, sahutku.
“hahahaha.....”, ibu itu tertawa  keras. Orang-orang serentak menengok ke arahnya.
“Jangan keras-keras....nanti kita digiring ke Koramil”, bisiknya ke telingaku serasa meringis, seperti mengejek keadaan.  
Irma telah mendapatkan tempat duduk, menikmati singgasana  setelah sekian lama berdiri. Tertidur. Si ibu semakin akrab, tak terbendung si ibu bercerita.
“Saya dulu cantik, Mbak, seperti sampean gitu. Halus wajah, tanpa jerawat. Cuma ibu tak pernah berkerudung. Ibu pesinden, dan penari. Kalau sampean pantes anaknya kyai....”, kata ibu itu seraya bercanda.
“Setiap menari atau nyinden selalu dapat saweran banyak. Semua laki-laki  kampungku, bahkan sekecamatan Bagor mengidolakan si Menuk, julukanku. Kalau aku manggung selalu ditunggu-tunggu para lekaki, tak peduli petani, bakul sapi, pegawai, bahkan pak Danramil. Mungkin kyai saja yang tak pernah menungguku manggung. Bahkan mengharamkan profesiku. Perempuan jalang, penggoda
“, katanya dalam pengajian-pengajian mereka.
Tabunganku banyak , hasil saweran setiap manggung. Kusimpan dalam peti dan kutanam dalam tanah di pojok dapur. Tanahnya kubikin rata tak menggunduk, siapapun tak mengira ada banyak uang di situ. Aku tak pernah memilih tempat ‘tanggapan’; mau partai, mau orang hajatan, atau Koramil, kantor kecamatan, apa saja aku datang. Terpenting aku bisa menari, nyinden, dan saweran banyak, puas hatiku. Sendainya kyai mau nanggap akupun dengan senang hati. Malah akan kuberikan tarian dan tembang yang paling indah. Tapi tak satupun kyai, ustaz kampungpun tidak ada yang menanggapku. Bahkan cercaan mereka semakin membuatku sedih”.
Sampai peristiwa itu datang. Malam itu aku ditanggap Pak  Kirmo, orang politik Merah. Di atas panggung terpampang gambar partainya; palu-arit. Aku gak peduli, dan gak terganggu dengan itu. Apalagi  malam itu pengunjung ramai sekali, datang dari desa, dan kecamatan tetangga. Pendapatanku banyak sekali malam itu. Aku pulang dengan senag hati. Seperti biasa aku simpan di peti dalam tanah”. Si ibu menghela nafas dan menyeruput aqua di tangannya.
“Dua minggu kemudian tersiar kabar ada peristiwa gestapu di Jakarta. Hebohnya lagi,  Pak Kirmo telah mati mengenaskan di kebun tebu, lehernya hampir putus. Keluarga dan teman-teman dekatnya pada menghilang, entah hidup, entah mati. Aku dijemput 3 orang di bawa ke Koramil. Mereka ternyata penggemarku, selama ini mengimpikan dapat menjamah tubuhku. Kesempatan itu ada di hadapan mereka. Satu orang membelai rambutku, dengan nafas yang memburuh. Satu lagi merabah-rabah pahaku, tak kalah memburuhnya. Satu lagi hanya melihat-melihat sambil ketawa-ketawa.  Aku ketakutan amat sangat. Aku menggigil. Tak pernah aku setakut ini. Tiba-tiba laki-laki yang hanya melihatku maju ke arahku, menyingkirkan tangan kedua temannya. Aku mulai tenang atas sikapnya.
Ketenangan itu hanya sedetik. Muncul rasa lebih takut, saat laki-laki itu menyeretku ke kebun singkong. Ia melemparkan tubuhku ke tanah. Badan besarnya menindihku. Aku tak bisa bergerak, apalagi melawannya. Mulutnya rakus melumat semua yang dirasakan nikmat dari tubuhku. Setelah ia terkulai, aku hendak berlari. Tubuhku jatuh kembali menimpa batang-batang singkong, kaki kanankku telah terpegang temannya yang meraba pahaku tadi. Kembali ia menindihku, memuaskan nafsunya, lebih lama lagi. Begitu juga temannya yang terakhir . Aku merasakan ngilu teramat sangat pada semua tubuhku. “
Dalam kengiluan amat sangat, aku diseret 3 laki-laki itu sepanjang malam. Seusai adzan subuh tiba di Koramil. Hanya ada 2 penjaga di tempat itu. Aku digeletakkan di kamar belakang dekat taman. Pintu kamar di kunci dari luar. Hanya itu yang kuingat. Hingga sinar matahari menyengat tubuhku dari jendela yang terbuka.  Terasa ada tangan mengelus-elus rambutku. Kubuka mata pelan-pelan. Samar-samar kulihat wajah Pak Danramil di depanku. Wajah yang kukenal saat aku menari dan nyinden. Ya benar, Pak Danramil. Tangan yang membelai rambutku ini adalah tangan yang menyisipkan uang saweran ke dalam kutangku.
“Tak usah takut, Nuk. Kamu makan dulu”, katanya lembut.  Ia mengangkat tubuhku yang masih lemas, membimbingnya duduk di bangku. Di atas meja sudah tersedia nasi, lauk-pauk, buah, dan segelas teh hangat. Pak Danramil mengambil piring, menyendok nasi, meletakkannya di depanku.   
“Makan dulu yang banyak biar kuat. Setelah itu kau bersihkan badan. Di dalam lemari itu ada banyak pakaian. Mana yang kau suka pakai saja”, ujarnya sambil meninggalkan kamar. Aku masih lemas untuk bereaksi sesuai keinginannya. Kuraih gelas berisih teh hangat, kuteguk pelan-pelan. Hingga beberapa lama aku masih duduk sambil termangu. Pak Danramil datang lagi, dan melihatku belum menyentuh makanan satupun. Tanpa berkata apa-apa, ia menyendok nasi disuapkan ke mulutku. Aku takut menolaknya. Kubuka mulutku, kumamah sekali, dua kali, akhirnya kutelan. Hingga tak terasa nasi dipiring dan sepotong ayam goreng masuk ke perutku”.
Lantas Ia mengangkat badanku dari bangku, membimbingnya ke kamar mandi. Ia preteli pakaianku satu persatu, dan mengguyurkan air  di kepalaku. Ia menggosok badanku  dengan telaten, bagaikan seorang ayah memandikan anaknya. Setelah dibilas aku dihanduki, dan dibimbingnya keluar kamar mandi. Setelah didudukkan di atas bangku menghadap ke cermin, ia mengenakan pakaianku. “Bukankah kau terlihat cantik kembali, Nuk? Kau seperti buah anggur yang meranum. Mana ada lelaki yang tak ingin menegukmu”, katanya. Aku tak membalas apapun yang dikatakan Danramil. Ia mengangkat kembali tubuhku, membimbingnya ke ranjang, direbahkan, kepalaku di atas bantal. “Istirahatlah! Jangan takut!”. Tak ingat apapun, hingga kubuka mata, lampu sudah menyala, dan ada tubuh yang menindihku. Pak Danramil sudah menjelajahi tubuhku. Aku tak menolak, tak merasakan apa-apa, akhirnya rasa ngilu kembali menjalar tubuhku. Begitulah yang terjadi setiap Pak Danramil masuk ke kamarku. Bedanya, mulanya aku merasakan ngilu, sekarang merasakan kehangatan dan nikmat”.
Setelah 2 minggu aku di tempat itu, aku diantar pulang ke rumahku. “Kamu jangan tinggal di desa ini lagi, kurang aman. Sekarang apa yang kau bawa dari harta bendamu. Kau akan kuantarkan ke tempat yang lebih aman”. Aku segera ke pojok dapur tempat simpanan saweran. Kugali dengan Pak Danramil. “Jangan kau bawa semua, bahaya”, seraya ia mengambil sekitar ¾ tumpukan uang itu. Maka pergilah kami dari desa itu. Sampailah kami pada desa di kecamatan lain, bersama kepala desa dititipkan aku pada seorang janda yang hidup sendirian. “Nanti aku akan datang lagi kalau semuanya sudah aman”, katanya sebelum pergi.”         
Begitulah, aku tinggal di desa itu. Hari berlalu, Pak Danramil tak pernah datang lagi. Perutku semakin besar, hingga melahirkan, Ia tak pernah datang lagi. Aku tak tahu anak ini, anak siapa; Pak Danramil atau 3 laki-laki anakbuahnya itu. Aku tak peduli siapa bapaknya. Semua sama saja. 3 laki-laki itu dengan kasarnya merenggutku, atau Pak Danramil yang sempat aku harapkan jadi pelindungku, ternyata pergi membawa harta yang kukumpulkan dengan keringat darah. Sejak itu aku bertekad, berdiri di atas kakiku sendiri. Tak ada seorangpun yang peduli padaku. Tuhanpun mungkin sudah tak peduli. Atau Tuhan telah menertawakanku, seperti kata kyai-kyai yang mengecamku selama ini? Pernah datang kepala desa, menyampaikan lamaran seorang kyai kampung untuk memperisteriku, sebagai isteri kedua. Aku menolaknya. Aku tak butuh laki-laki, apalagi kyai yang dulu merendahkanku. Apa sekarang mereka mau tampil sebagai pahlawan, atau sekedar menertawakanku? Biarlah aku hidup tanpa laki-laki, dan anakku tanpa ayah. Dia juga harus tahu dan merasakan kalau hidup ini sungguh perih.”
Tak sadar kereta telah tiba di stasiun Wonokromo. Aku harus turun. Irma juga sudah bangun dari tidur panjangnya, tanpa tahu cerita bu Menuk. Si Ibu masih harus melanjutkan perjalanan. “Kau harus kuat sebagai perempuan, Mbak. Jangan kawin muda. Nikmati hidupmu sebelum tua datang, dengan banyak penyakit,” katanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa. Aku pamit, bersalaman dan kucium tangannya. Saya lihat matanya sembab. Apakah sedih dengan ceritanya, atau terharu kucium tangannya. Sebab  merasakan penghargaan yang mungkin belum pernah mampir dalam dirinya selama ini. 
 Mas Anto sudah berdiri di pintu keluar. Ia tersenyum, akupun tersenyum. Ada air dingin mengalir di tenggorokanku. Ya, Mas Anto seperti  air gunung yang merembes ke dalam jantungku. Apakah Mas Anto merasakan hal sama kurasakan? Biarlah! Kenapa harus aku pertanyakan?
“Bagaimana kalau kita makan dulu?”, kata Mas Anto.
“Okeee.... sepakattttt”, Irma langsung menyambar secepat kilat.
“Kamu ini..siapa yang nawarin situ ya...”,
“Biarin..kalau aku tak ikut, Lai pasti gak jadi berangkat...weeeee...” kita tertawa mendengar Irma mulai mengoceh.
“Kita makan lontong kikil saja, atau rawon?”
“Apa aja, Mas”, jawabku.
“Minta dong Lai..,jangan apa aja. Jadi perempuan nurut banget sihhh”,
“Emangnya kamu...cerewis...”, sambung Mas Anto.
“Biariiinnnnnn.....”, kami tertawa kembali. Memang kalau ada Irma, suasana menjadi renyah. Tak pernah salah aku membawa Irma dalam waktu yang tepat. Bayangkan, kalau Irma tak ada, aku bisa kehabisan bahan kata-kata dengan Mas Anto. Pilihan jatuh pada longtong kikil, masakan khas Surabaya. Terasa nikmat lontong kikil Surabaya, membuat tenagaku kembali pulih. Mas Anto juga terlihat lahap.
“Aku mau nambah, tapi maluuuu.....”, kata Irma setelah menelan lontong terakhir di mulutnya.
“Nambah aja...Mas Anto masih bisa bayar kok!”, Mas Anto hanya tertawa, kamipun juga tertawa.
“Bagaimana kalau agenda kita ubah. Kita gak usah ke gramedia. Tapi kita jalan-jalan saja”, Mas Anto tiba-tiba. Aku bingung mau jawab apa. Sebenarnya hatiku tak keberatan. Tapi bagaimana dengan agendaku semula? Bisa tak dapat hasil aku datang ke Surabaya. Irma juga terlihat canggung, mau mengiyakan takut sama aku, yang sebenarnya dia lebih setuju jalan-jalan.
“Tak usah kuatir, soal buku sudah aku siapkan untukmu Lai...di jok belakang sudah banyak buku yang kamu butuhkan untuk menyeleseikan KUNTUM. Malah aku bawain beberapa novel karangan sastrawan termuka Jogja saat ini; Khutbah di Atas Bukit dan Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karangan  Kuntowijoyo, Burung-Burung Manyar-nya Romo Mangunwijaya, juga Para Priyayi-nya Umar Kayam”. Aku surprise dengan perhatian Mas Anto. Ia benar-benar air gunung dalam dahagaku.
“Makasih banyak ya, Mas...”
“Aku yang  makasih Lai...kamu mau datang kesini”.
“Gak ada yang makasih sama aku ya...” kami tertawa untuk kesekian lagi atas merajuknya Irma.
Kita berunding sebentar merumuskan ke mana kita akan jalan-jalan, lebih kerennya, ziarah spiritual dan intelektual. Pertama  ke Makam Sunan Ampel, terus ke Makam Dr Sutomo, ke Pasuruan sambil pulang lewat Mojosari . Mobilpun diluncurkan Mas Anto menuju  Makam Sunan Ampel. Aku duduk di depan dampingi Mas Anto nyetir. Irma di jok lapis tengah. Jalan-jalan Surabaya lebih padat dari Mojokerto. Mobil berdesakan, berebut ingin lebih dulu berlari. Gedungnya juga banyak yang lebih tinggi. Bagaimana Jakarta, katanya gedungnya mencakar langit. Aku belum pernah pergi ke Jakarta, paling banter lihat tv.
Mobil di parkir di jalan. Kita jalan melintasi para pedagang, untuk sampai ke Masjid Ampel. Ada tawaran kanan kiri agar kita membeli barang dagangannya. Banyak keturunan Arab di sini. Tentu tak ketinggalan, para pengemis. Sebuah pemandangan yang khas di makam –makam walisongo, dipenuhi para pengemis. Para peziarah mesti menyediakan uang recehan, paling tidak untuk 5 kali pemberian. Sebab jumlah pengemisnya memang tidak sedikit. Kalau tidak dikasih akan mengintil, dan itu sangat menganggu.     
Waktu dhuhur telah masuk. Aku mengambil wudhu. Dingin, air di ampel denta ini. Setelah shalat berjamaah, aku menuju makam Sunan Ampel. Aku membaca ‘yasin dan tahlil’. Mas Anto dan Irma juga membaca, di sampingku.  

“Raden Rahmat atau Sunan Ampel ini menurut sislsilahnya, putera Maulana Malik Ibrahim (Sunan gresik), putera Syekh Jumadil  Qubra , yang makamnya di pemakaman kerajaan Majapahit (Makam Troloyo Trowulan). Syekh Jumadil Qubra keturunan ke 10 Imam Husain bin Ali suami Fatimah binti Rasulullah.  Ini menunjukkan kedalaman hubungan para wali dengan inti kekuasaan Majapahit. Tanpa restu dari penguasa Majapahit, tentu sulit menyakinkan rakyat untuk memeluk Islam. Masyarakat Jawa terkenal dengan paham  manunggaling kawula gusti (bersatunya rakyat dengan raja). Tidak ada perlawanan rakyat pada rajanya, kecuali raja dengan raja (atau yang mengklaim raja). Itulah perang  yang seringkali terjadi di Jawa”, Mas Anto bercerita seusai berdo’a. Seraya menuju mobil Mas Anto melanjutkan.
Menurut Serat Darmogandul, sebuah buku Jawa yang ditolak kaum santri, bahwa hubungan batin Raden Rahmat dengan Majapahit terjalin erat hingga Nyai Raden Rahmat bersikukuh menolak mengakui kesultanan Raden Patah di Demak, karena Sunan Ampel selalu berpesan untuk memelihara Majapahit. Dalam serat itu, begitu kecewanya Nyai Raden rahmat yang mengambil takhta ayahandanya, Prabu Brawijaya V.  Hanya Sunan Kalijaga yang mampu menyeleseikan tugas menyakinkan, termasuk Prabu Brawijaya V untuk mengakui kesultanan Demak. Bahkan, Brawijaya v akhirnya masuk Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga. Padahal selama ini, sudah banyak usaha dari Sunan Ampel, lebih lagi Syekh Jumadil Qubra sendiri, tak dapat menyakinkan Brawijaya v memeluk Islam. Dengan kesantunan, dan juga kecerdasan seorang Jawa (satu-satunya walisongo yang keturunan asli Jawa adalah Sunan kalijaga), Brawijaya V bershahadat.
Darmogandul ini kitab kejawen yang berbeda versi dalam menulis sejarah kejatuhan Majapahit, dan munculnya kerajaan Demak. Menurut versi umum, Raden Patah menyerang Majapahit setelah mendapatkan serangan dari musuh bebuyutannya, Kediri. Karena Majapahit telah direbut Kediri, maka Raden Patah menyerang Majapahit yang telah dikuasahi Kediri. Para walisongo menyokong serangan ini, dan berhasil. Namun menurut versi Darmogandul, Demak menyerang Majapahit saat Prabu Brawijaya V(yang notabene ayah kandung dari isteri selir, Raden Patah) masih bertakhta. Sebuah pengkhianatan anak pada ayah kandung, dan lebih jauh pengkhianatan para wali pada Majapahit. Darmogandul menyesalkan sikap terbuka yang diberikan kepada para wali untuk menyebarkan Islam di kalangan rakyat majapahit, yang akhirnya  menggulung  Majapahit sendiri”.   
Makam DR Sutomo sederhana, dan tak banyak pengunjung. Kita juga berdo’a di depan makamnya. Atas dorongan dosen,  Dr Wahidin Sudirohusodo, mahasiswa Stovia ini mendirikan organisasi Boedi Oetomo di ruang kelas pada hari minggu tanggl 20 Mei 1908. Seorang Wahidin berpandangan kebudayaan Jawa diilhami Hindu-Budha, yang merosot karena kedatangan Islam. Menurut MC Ricklefs, Wahidin berusaha mengembalikan kejayaan itu dengan melalui pendidikan belanda. BO sebuah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan priyayi Jawa. Lantas apa yang bisa diharapkan lebih dari para priyayi Jawa? “, tandas Mas Anto
Bukankah priyayi Jawa cita-citanya tak lebih dari berkuasa, dan mengabdi pada belanda? Seperti mahasiswa stovia itu, calon-calon dokter yang berharap kemurahan gubermen, mendapatkan beselit. Umar Kayam menceritakan dengan apik dalam novelnya Para Priyayi, keluarga petani yang bermimpi menjadi priyayi  dengan mengabdi pada belanda. Itulah cita-cita priyayi, mendapat kedudukan dalam pemerintahan gubermen”, jelas Mas Anto lagi.       
“Lantas apa bedanya dengan kita sekarang, Mas? Bersekolah, kuliah, dan akhirnya mengharapkan menjadi pegawai pemerintahan? “, sanggahku, tergelitik dengan omongan Mas Anto.
“Itu alamiah semata, dan bersifat  umum atau kebanyakan. Pendidikan dijadikan alat untuk meraih masa depan yang lebih baik. Pendidikan adalah alat untuk melakukan mobilitas vertikal, menjadi priyayi, kata Umar Kayam. Belanda membutuhkan tenaga-tenaga terampil dalam pemerintahannya, selain orang belanda sendiri,dan  priyayi atas (keturunan raja, setidaknya adipati). Belanda juga membutuhkan priyayi rendahan, seperti mahasiswa stovia yang akan jadi dokter, atau sekolah lain yang melahirkan guru-guru pada sekolah gubermen”, jelas Mas Anto.
“Namun ada akibat terselubung dari sekolahan atau kuliah itu. Sekolah atau kuliah itu menjadikan dua tipe manusia; terpelajar dan terdidik. Kaum terpelajar seperti layaknya para priyayi;  mendapatkan ilmu dan menuntut pekerjaan pada gubermen. Sedangkan terdidik adalah manusia yang tersadarkan, tercerahkan, dan muncul keinginan untuk melakukan tindakan lebih dari sekedar menjadi priyayi.  BO itu didirikan, setidaknya mencerminkan sikap keterdidikan kaum terpelajar para priyayi Jawa akan nasib bangsa mereka. Belum lebih dari itu. Tetapi itu dianggap cikal bakal sebuah zaman baru di republik ini”,
Jadi, kalau ada di zaman kita ini, sekolah hanya ingin mengejar pekerjaan atau menjadi pegawai negeri semata, tak ada bedanya dengan usaha menjadi priyayi. Ia menjadi terpelajar tapi bukan terdidik. Bahkan Prof Lukman Soetrisno, kemarin bicara di media, pendidikan saat ini telah menjadi alat mempertahankan kelas.  Pendidikan mahal ini hanya dapat dijangkau mereka yang berada, si miskin tak mampu menggapai pendidikan. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”, kata lagu Rhoma Irama....”. Irma dan aku terpingkal, Mas Anto ujung-ujungnya menyebut si Raja Dangdut.
Mobil melaju kencang keluar Surabaya menuju Pasuruan. Agaknya Mas Anto tetap bersemangat mengeluarkan isi kepalanya. Meskipun sedang menyetir Mas Anto tak keliatan lelah berkata-kata. 
“Waktu juga mendatangkan  seorang priyayi anak adipati Ponorogo,  Oemar Said Tjkroaminoto. Setelah menamatkan pendidikan belanda, justru  menolak  menjadi pegawai dan mengabdi pada belanda. Latar belakangnya dari pesantren membuatnya cukup layak didaulat memimpin SDI (Serikat Dagang Islam) yang rintis Haji Samanhudi di Solo, yang akhirnya dirubah menjadi SI (Serikat islam). Inilah organisasi politik dengan kekuatan massa besar pertama kali di Hindia Belanda. Mas Cokro, biasa dia dipanggil, menjadi harapan baru bagi kelompok dan rakyat yang tidak suka kepada belanda. Di kampung-kampung Mas Cokro sering dianggap sebagai Ratu Adil, yang akan membawa keadilan dan kemakmuran bagi negeri yang dihinakan ini”
“Mas Cokro pandai berpidato, memahami agama, dan berpendidikan belanda. Sebuah kombinasi yang menarik untuk menjadi pemimpin dan guru bagi benih-benih  penggerak sebuah zaman baru. Soekarno berguru padanya, bahkan sempat  menikah dengan anaknya, Utari. Soekarno terpesona gaya pidato Mas Cokro di depan rapat akbar di lapangan terbuka yang diadakan SI. Kelak minat ini sangat berguna bagi Soekarno. Begitu juga Muso, si anak alim itu, dan Kartosuwiryo selalu mendatangi Mas Cokro, untuk menyerap ilmu dan semangatnya”, Ma s Anto menarik nafas, dan minta air. Aku menyodorkan sebotol air mineral, segera ia menyiramkan ke dalam tenggorokannya. Terdengar bunyi air yang dipaksa segera masuk ke perutnya, karena air di mulutnya hendak menuju tenggorokan.
“Kaum terpelajar dan terdidik mulai bergerak, Hatta dengan perhimpunan pelajar di Belanda, menggalang kekuatan kesadaran tentang negeri mereka.  Ernest  Douwes  Dekker atau Danudirja Setiabudi, kelahiran Pasuruan, dengan Indische Partij, yang digerakkan tiga serangkai; Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, mencetuskan ide ‘sebuah pemerintahan sendiri. Gerakan mereka ini tak mempunya massa, namun kepiawian dalam memanfaatkan media, dengan pemikiran yang cemerlang, menggeloralah gerakan mereka, dan ditakuti gubermen”, Mas Anto melanjutkan pidatonya, seperti Mas Cokro mengajarkan pada Muso dan Kartosuwiryo ataupun Soekarno. Apa Mas  Anto sedang berfikir aku dan Irma ini adalah anak-anak didik ideologisnya?. Aku tersenyum sendiri. Kalau Mas Cokro sedang berpidato di atas mimpar di lapangan terbuka dengan massa ratusan ribu, Mas Anto berpidato sambil nyetir mobil. Tapi semangat dan kata-kata Mas Anto kurasakan seperti  Mas Cokro ada di hadapanku.
 “Jadi kita ke pasuruan ini untuk napak tilas tempat kelahiran Douwes Dekker?”, tanya Irma.
“uppppss..Jangan kecewa dulu. Di sini dulu ada pahlawan rakyat, terutama Jawa Timur yang sangat membanggakan rakyat kecil. Sampai hari ini kalian pasti dengar kisah-kisahnya yang dijadikan lakon di ludruk-ludruk”
“Siapa Mas?,” sahutku.
“Seorang budak dari Bali yang nama saja ia tak punya (atau begitu tak dianggapnya seorang budak, sehingga nama saja tak begitu penting baginya). Ia mengabdi pada perwira VOC bernama Moor. Karena sering mendapatkan keberuntungan sejak mengambil budak itu, Moor memberi nama ‘Untung’. Moor  sangat senang pada Untung karena ketrampilan dia dalam membantu sang perwira. Sampai suatu waktu, perwira itu mengetahui kalau Untung berani mengawini anaknya, Suzane. Sang perwira marah besar, dan menjebloskan ke dalam penjara. Di situlah Untung mulai tertanam kebencian kepada Belanda.  Dengan menghimpun para tahanan Untung berhasil melarikan diri dari penjara dan menjadi buronan”
                “Raja Banten Ageng Tirtayasa dikalahkan VOC, dan puteranya Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia mau menyerahkan diri tetapi mau dijemput VOC pribumi. Untung ditemukan Kapten Ruys, dan melatihnya ketentaraan, menjadi tentara VOC dengan pangkat Letnan. Untung ditugasi untuk menjemput Pangeran Purbaya. Selain Untung, ternyata ada pasukan Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung marah dan menghancurkan  Kuffeler di sungai Cikalong. Pangeran Purbaya tetap menyerah pada VOC, tetapi Isterinya, Gusik Kusuma, meminta diantarkan ke Patih Nerangkusuma di Kartasura. Saat melewati Cirebon, Untung bertengkar dengan Suropati, anak angkat Sultan Cirebon. Setelah diadili, terbukti Suropati yang bersalah. Suropati dijatuhi hukuman mati oleh Sultan. Sejak saat itu nama Suropati diserahkan kepada Untung, menjadi Untung Suropati. Setibanya di Kertasura, ayah Gusik Kusuma, Patih Nerangkusuma malah menikahkan Untung dengan Gusik Kusuma. Patih Nerangkusuma anti VOC dan meminta mempengaruhi Amakngkurat II untuk melanggar perjanjian dengan VOC. Saat Kapten Farancois Tack datang ke Kartasura mau menangkap untung pura-pura membantu. Dalam pertempuran di halaman keraton itu Pasukan VOC dihancurkan pasukan Untung. Sang Kaptenpun terbunuh oleh Pangeran Puger adik Amangkurat II. Selanjutnya atas restu Amangkurat II, Untung dan Nerangkusuma merebut Pasuruan, dan mengangkat dirinya sebagai Adipati. VOC selalu berusaha membasmi Untung, dengan serangkain penyerangan. Dalam pertempuran di benteng Bangil menewaskan Untung. Ia berwasiat agar dirahasiakan kematiannya. Anak-anaknya melanjutkan pertempuran dengan membawa tandu berisi Untung palsu. Akhirnya Herman de Wilde menemukan makam Untung dan membongkarnya.  Jenazahnya dibakar dan dibuang ke laut.  Itulah Untung  Suropati, seorang budak yang memberi inspirasi melawan VOC tanpa takut, hingga kematiann ya. Cerita  untung ini begitu melegenda hingga kini” 
Mas Anto menghentikan mobil di alun-alun Pasuruan, tepatnya di di halaman masjid agung. Waktu ashar sudah masuk. Kita shalat berjamaah, dilanjutkan makan bakso di depan alun-alun. Mas Anto nambah bakso, juga satu botol teh. Tak kupungkiri, memang enak baksonya. Sebenarnya aku pengen nambah, tapi kurang elok rasanya di  depan Mas Anto, aku makan terlalu banyak. Sepertinya Irma juga merasakan hal sama.
“Mas Lapar ya, setelah nyetir sambil bercerita panjang”,  kataku.
“Hahahha....iya ya.... sepanjang apa aku cerita sama kalian?!”
“Sepanjang jalan kenangan, massss...”, tangkis Irma
“Bisa aja kau....”, Mas Anto jendul kepala Irma.
“ ushhh.....gak kena..”, Irma menggelengkan kepalanya, menghindar tangan Mas Anto.  Kita tertawa terpingkal-pingkal.
Kita masuk ke dalam mobil, pada posisi semula; Mas Anto Nyetir, Irma di jok tengah, aku di depan nemani Mas Anto. Seandainya aku bisa nyetir akan kugantikan Mas Anto, yang tentunya sudah merasakan lelah. Irma juga sama denganku, tak bisa mengendarai mobil. Kepingin juga bisa nyetir mobil. Kubayangkan kalau aku sendirian, tak bisa nyetir, betapa repotnya. (Dari kenangan inilah, akhirnya aku belajar nyetir mobil). Dapat mengendarai kendaraan; dari sepeda, motor, dan mobil bagi seorang perempuan sangatlah penting. Itu juga bagian dari menghindari ketergantungan pada orang lain. Seperti saat ini, aku menjadi sangat bergantung pada Mas Anto. Sejak  stasiun Wonokromo, mas Anto yang mengendarai; aku dan Irma hanya duduk manis. Itupun dia harus bercerita panjang tentang banyak hal. Semoga Mas Anto ikhlas melakukan ini semua untuk kami. Sudah banyak  aku merepotkan Mas Anto. Dia terlalu baik kepadaku selama ini.Aku merasa termanjakan dengan kebaikannya. Seperti menikmati setiap kebaikan yang diberikan, seperti bunga yang menikmati siraman air setiap hari. Kebaikan itu menyelinap ke dalam hatiku, mengaliri darahku, dan kurasakan hangat menyelimuti jiwaku. Kadang timbul perasaan tak mau melepaskan semua kebaikan itu yang terlanjur membaluti.     
Mobil terus melaju menuju mojokerto. Kadang melewati jalan yang diiringi rumah-rumah, kadang juga diapit persawahan dengan pohon tebu yang menghampar. Mas Anto fokus ke depan mengendalikan mobil. Aku memandangi pemandangan yang terhampar sepanjang jalan. Mungkin Mas Anto merasakan lebih capek, sepanjang jalan ia terus berorasi seperti Mas Cokro. Aku tak pernah bosan mendengarnya. Pikiranku  menerimanya seperti ‘aki’ yang disetrum, menyimpan  tenaga listrik. Aku bertanya pada diriku; apakah itu karena Mas Anto yang mengatakan, atau memang tema yang disampeikan Mas Anto cukup menarik. Aku tak tahu, tak bisa kujawab. Yang jelas aku senang setiap saat berdiskusi dengan Mas Anto.
“Lai...ngantuk?, tidur aja! Irma sudah lelap tuh, entah di mana dia sekarang, melayang di awan atau cukup pingsan aja”. Sedikit kaget Mas Anto menyapaku, memutus lamunanku.
“Gak Mas...saya temani sampai rumah, Mas” Kalau kita bahas soal pendidikan lagi, gimana Mas? Mas  Anto masih mood, gak?”
“Is ok...biar gak ngantuk juga”.
“Bagaimana dengan pendidikan Islam?”, tanyaku memancing.
“Pesantren Raden Rahmat adalah pendidikan Islam pertama di kalangan umat. Dengan pengajaran kitab-kitab agama, yang nantinya dinamakan kitab kuning. Para wali songo mengembangkan pendidikan itu, yang diteruskan oleh para keturunan dan santrinya, dengan membangun pesantren-pesantren di seluruh nusantara. Pendidikan pesantren sangat mandiri dari pengaruh gubermen, karena mereka juga tidak mau meniru, apalagi menjadi belanda. Bahkan ada maqalah” man tasabbaha biqaumin fahuwa minhum (barangsiapa meniru suatu kaum maka akan menjadi bagian dari kaum itu). Maka di kalangan pesantren, memakai celana, atau bertatacara ala belanda pernah diharamkan”. Kemandirian adalah sikap dasar pendidikan pesantren. Karena lulusannya tak pernah mengharapkan apapun dari gubermen. Mereka akan kembali ke masyarakat dengan bertani atau berdagang, sambil mengajarkan agama.
“Datanglah Kyai Darwis dari Makkah, ia berkenalan dengan gerakan pembaharuan yang lagi trend saat itu, Muhammad Abduh, dan murid-muridnya. Bahwa Islam harus bangkit dengan pembaharuan pendidikan. Kyai darwis hidup di tengah-tengah keraton Yogya, yang barang tentu bersentuhan dengan belanda. Bahkan menjadi guru di sekolah-sekolah gubermen. Inspirasi muncul dari situ, mendirikan Muhammadiyah yang konsen dengan pendidikan gaya baru, memakai cara belanda dalam mengajarkan agama. Kalau dipesantren dengan sistem sorogan (tidak memisahkan dengan kelas dan duduk di lantai), Kyai Darwis mendirikan sekolah Muhammadiyah dengan sistem kelas dan memakai bangku, meja dan alat-alat tulis. Kyai Darwis dalam soal organisasi belajar pada Budi Utomo yang  dulu memulai dengan mendirikan sekolah-sekolah. Mulai saat itulah dikenal dalam Islam Indonesia dua model pendidikan; pesantren dan sekolah ala Muhammadiyah”  
“Sebenarnya kedua gaya ini bisa saling melengkapi, namun di awal-awal berdirinya dua organisasi ini terlibat perseteruan yang sengit; satu mengkafirkan karena dianggap murtad, satunya lagi menuduh bid’ah, khurafat, syirik. Sekarang keduanya dianggap 2 sayap garuda Islam Indonesia. Yang bakal menentukan arah bangsa ini; seperti di era perjuangan kemerdekaan keduanya memainkan peranan yang besar bagi berdirinya negara republik ini”,
“Tapi zaman terus bergerak, Mas,  dan masalah umat dan bangsa ini masih menumpuk jelas di depan mata kita”.
“Betul... di internal kedua organisasi itu juga ada individu-individu yang melakukan otokritik, bukan untuk melemahkan, namun untuk menemukan   elan vital perjuangan baru. Kedua organisasi itu sekarang sudah erat dalam ukhwah, karena yang dihadapi saat ini adalah tantangan sebuah zaman baru, dan kebesaran mereka sendiri. NU dengan pesantren yang berlimpah, dan Muhammadiyah dengan universitas dan amal usaha yang berjibun”.
“Kaum terpelajar Islam yang dihasilkan kampus yang didirikan bangsa sendiri, menemukan kristalisasi dengan berdirinya ICMI di malang beberapa tahun lalu. Seorang teknokrat nomer wahid dijadikan ketua umumnya, BJ Habibie. Ideolognya sendiri seorang lulusan pesantren yang berpendidikan Barat, Nurcholis (tokoh terbesar HMI, organisasi mahasiswa tertua pasca kemerdekaan). Cak Nur biasa dipanggil, mempunyai kader di politik bernama Akbar Tanjung, yang menerima keuntungan politik saat idenya tentang ‘ Islam yes Partai Islam No digulirkan”.
“Sayang  sekali Mas, kita sudah mau sampe. Sebuah diskusi yang menarik, rasanya saya tak hendak berhenti”. Mobil sedang merayap di jalan menuju rumah Irma. Sebentar lagi akan sampai, dan waktupun sudah memperlihatkan magrib akan segera tiba.
“Aku juga sangat senang bisa diskusi dengan Lai..terpaksa aku harus baca-baca lagi buku yang lama dilupakan”, Mas Anto berusaha melucu. Aku tersenyum menunjukkan padanya aku merespon usahanya. Irma sudah bangun, dan turun mengangkat tas berisi buku yang diberikan Mas Anto. Akupun turun, dan mengucap salam. Mas Anto tak turun, langsung membalik mobil, ia harus segera balik ke Surabaya. Tak lupa kuucapkan salam terima kasihku. Mobil meluncur. Aku palingkan muka saat pantat mobil itu tak terlihat mataku. Aku juga pamit sama Irma, sebelum hari benar-benar gelap. Karena buku yang dibawaain Mas Anto cukup banyak, tak dapat aku bawah semuanya. Hanya beberapa yang penting , mendesak untuk menyeleseikan KUNTUM.
Aku tiba, shalat jamaah sudah usai. Aku membersihkan diri dan shalat magrib di kamar. Belum sempat berdo’a, rasa kantuk begitu hebat menyerang. Tak kuasa nahan, pekat.  Aku terbangun masih memakai mukena, saat jam 1. Aku mengambil wudhu, dan shalat isya. aku nderes  sebentar, tiba-tiba Umi membuka pintu dan masuk. Aku akhiri bacaan dengan ‘shadaqallahul adzhim...’
“Kamu sudah mau lulus, kok masih sibuk sih, Nduk?”
“Biasa kok Umi. Kan kemarin sudah Lai bilang ke Umi, masih ada tanggungjawab di sekolah. Tadi cari bahan-bahan untuk itu. Insya Allah 3 hari lagi sudah kelar Umi”. Aku selalu sungkan sama Umi, apalagi saat seperti ini. Aku tadi telat pulang, dan tidak ngaji setelah magrib. Pasti Umi tahu aku tertidur habis shalat magrib. Belum lagi soal amplop berkop itu, sampai saat ini belum aku sampaikan kepada Umi dan Abah.  Setelah Kuntum terbit, pengumuman kelulusan, haul usai, akan aku sampaikan soal amplop berkop itu. Kuatir bisa menganggu konsentrasi; baik aku dengan KUNTUM, maupun Umi dan Abah dengan Haul.
“Kamu seperti tambah berubah, Nduk. Umi seperti tak mengenalmu seluruhnya, ada sisi dari dirimu yang tersembunyi, yang Umi tak dapat melihatnya. Sebenarnya apa yang terjadi, Nduk?”
“Mboten wonten nopo-nopo, Umi, saya baik-baik saja. Umi tak usa kuatir”.
“Namanya orang tua itu ya selalu kuatir sama anaknya, Nduk. Kamu belum pernah punya anak sih..”
“Ngapunten Umi...tak ada maksud membuat umi kuatir begitu. Lai gak ada apa-apa”.
“Hati seorang ibu itu tak bisa dibohongi...”
“Ngapunten Umi...Lai baik-baik aja”
“Jaga diri baik-baik ya, Nduk. Kamu itu penghafal qur’an. Ayat-ayat yang sudah kau hafal, ibarat burung yang masuk di sangkar tak boleh hilang. Perbuatan maksiyat dan kemalasan, karena sibuk dengan urusan duniawi dapat membuat burung itu lepas dari sangkarnya. Dan itu dosa”
“Inggih, Umi. Lai perhatikan nasehat Umi. Insya Allah saya akan jaga semampu saya, seperti  nasehat Umi”
“Kamu seperti masih belum cukup hidupmu dengan qur’an, yang sudah bersemayam di dalam dirimu?”
“Ngapunten Umi, bukan begitu. Bukankah Umi yang katakan, kalau Qur’an sudah masuk dalam diri kita, ilmu lain-lain akan mudah masuk. Saya ingin mempelajari ilmu-ilmu itu juga untuk semakin memahami qur’an yang telah kuhafal”.
“Apakah kamu sudah ingin meninggalkan pesantren ini? Mau menikah ikut suamimu hidup di luar pesantren ini? Atau kamu ingin bekerja, ingin pegang uang sendiri dari keringatmu? Kamu ingin hidup bebas seperti orang lain pada umumnya? “
“Ngapunten, Umi. Saya tetap anak yang Umi kenal. Tapi apakah salah kalau saya juga ingin menjadi anak zaman ini? Anak yang ingin mengambil peran dalam zamannya sendiri, yang mungkin beda dengan zaman Umi dan Abah?”
‘”Apakah zamanmu itu akan meninggalkan pesantren ini, meninggalkan Umi dan Abah, Nduk? Kamu tahu, hanya kamu anak Umi dan Abah satu-satunya, dan pesantren ini adalah wasiat Mbahmu, kyai Shomad. Kamu juga tahu, kyai Shomad adalah santri kesayangan Syeikh Hasyim Tebuireng. Kamu adalah penerus itu. Apakah zamanmu itu akan mengabaikan semua itu, Nduk?,” Umi berkaca-kaca, air bening menetes dari kelopaknya. Aku juga sembab melihat Umi sentimentil  seperti ini. Apakah aku telah dirasa  melukai hatinya. Aku tidak bisa menjawab kata-kata Umi. Aku hanya bersimpuh,  Air mataku mengalir membasahi kakinya. 

……………………………….kisah ini masih berlanjut….bagaimana cita-cita Lai…., bagaimana Abah dan Uminya, bagabaima sahabatnya Irma, dan hubungannya dengan An to……… ?